Jakarta, IMC - DPR telah mengesahkan
hak angket kepada KPK dalam sidang paripurna DPR. Pro dan kontra para ahli
hukum mewarnai hak angket oleh DPR.
Akhmad Bumi,
calon Komisioner KPK tahun 2015 kepada media ini Sabtu, 17/6/2017 mengatakan, “KPK
itu pelaksana UU, olehnya KPK tidak perlu menutup diri dari pengawasan
konstitusional DPR. Kalau KPK bekerja benar sesuai UU kenapa mesti takut?
Kecuali KPK bekerja tidak benar, tidak berdasar UU ya boleh takut, dan itu
sah-sah saja.”
Bumi menambahkan,
DPR berwenang memeriksa atau menyelidiki dalam hak angket termasuk KPK. DPR
memiliki legal standing menggunakan hak angket.
“Hak angket,
itu hak konstitusional DPR. Karena subyek hak angket adalah lembaga pelaksana
UU, salah satunya KPK. KPK bekerja ada UU yang mengatur, kalau melenceng dari UU
ya DPR berwenang menyelidiki,” kata Bumi.
“KPK lembaga
super body, tapi bukan lembaga yang bebas tanpa pengawasan. Kalau bebas tanpa
pengawasan ya KPK bisa sewenang-wenang,” imbuhnya.
Temuan BPK
terhadap pengelolaan keuangan di KPK, itu bisa saja menjadi salah satu yang
bisa diselidiki DPR dalam hak angket kepada KPK.
Rekomendasi
hak angket DPR bisa ditindaklanjuti oleh lembaga penegak hukum terkait termasuk
lembaga politik.
KPK perlu
berjalan sesuai sistem. Dan sistem itu sebagai instrumen yang perlu dipatuhi,
sistem itulah diatur UU.
Temuan BPK,
itu indikasi, bahwa ada benih korupsi dalam KPK. Perlu diselidiki. Karena
orang-orang di KPK bukan Malaikat, tapi mereka manusia biasa yang tidak luput
dari dosa.
KPK yang
menolak hak angket DPR, itu bisa dikualifikasikan sebagai bentuk penyelewengan
terhadap UUD 1945 dan UU (UU MD3), karena disana hak angket diatur.
“Harapan
rakyat Indonesia, agar KPK jangan dijadikan alat politik kekuasaan. KPK jangn
bekerja tergantung pesanan politik. Karena banyak kasus yang mesti diangkat
KPK, tapi tidak. Publik menilai seolah KPK tebang pilih,” tegas Bumi.
“Yang
melemahkan KPK sebenarnya penguasa sendiri,” kata Bumi. Kriminalisasi itu sejak
pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjianto dikriminalisasi. DPR
menjalankan hak angket bukan melemahkan KPK, tapi bahagian dari evaluasi
kinerja KPK selama ini.
Kriminalisasi
semisal Samad dan Bambang itu menjadi trauma tersendiri pada level pimpinan
KPK, hal itu berdampak tidak langsung pada mental komisioner.
“Kalau KPK
trauma, takut menyentuh perkara yang bersinggungan dengan kekuasaan, katakan
kasus BLBI atau RS Sumber Waras yang belum ditemukan niat, dll ya bubar saja,”
ujarnya.
Karena KPK
sudah tidak berguna lagi. Kembalikan kewenangan itu pada Jaksa dan Polisi
seperti sedia kala. Karena KPK itu lembaga ad
hock, dibentuk hingga polisi dan jaksa memperbaiki kinerjanya.
Lanjut Bumi,
jika KPK hendak merubah kultur, sekecil apapun korupsi tidak ditolerir. Big
fish dan small fish sama saja. Jika ditolerir maka sama halnya dengan KPK
memelihara penjahat dalam negara.
“Di KPK perlu
diterapkan prinsip "Zero Tolerance", tidak ada toleransi terhadap
koruptor," tandasnya.
Menurut dia,
KPK merupakan lembaga superbody. Jika KPK bukan lembaga superbody atau lembaga
biasa-biasa saja, maka tidak perlu ada KPK di Indonesia. Ada KPK tapi memproses
perkara korupsi hanya sesuai selera penguasa atau perkara-perkara titipan, sama
dengan membuat KPK menjadi tidak berguna. Cukup ada lembaga kepolisian dan
kejaksaan.
Tapi, lanjut
dia, KPK dirancang untuk menghadang kejahatan korup yang extra ordinary crime.
Oleh karena itu, KPK dalam menangani perkara jangan tebang pilih. Jika tebang
pilih, maka itu juga menjadi jalan masuk DPR untuk menyelidiki.
Jika DPR dalam
penyelidikannya, ada temuan bahwa KPK lalai dalam menjalankan UU atau tidak
menjalankan UU sebagaimana mestinya, DPR dapat memberikan rekomendasi.
Bumi berharap,
KPK sebaiknya menyiapkan diri secara baik dan kooperatif dalam menghadapi
pemeriksaan DPR melalui hak angket. Tidak ada lembaga negara yang luput dari
pengawasan konstitusional.
Pasal 79 ayat
(1) UU MD3 mengatur, DPR dalam rangka fungsi pengawasan mempunyai 3 (tiga) hak
yaitu hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, selain itu
diatur pula dalam UUD 1945.
Pasal 79 ayat
(3) UU MD3 mengatur: Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu
undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting,
strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
“Olehnya
penggunaan hak angket oleh DPR, adalah konstitusional,” kata Bumi menutup
pembicaraan. (tim/red).