Jakarta, IMC - Kordinator Forum
Indonesia, Akhmad Bumi melalui rilisnya yang diterima IMC, Senin (20/3)
menjelaskan praktek curang dalam pemilu itu cara berdemokrasi yang tidak
bermartabat justru membuat demokrasi menjadi cacat. Penambahan
DPT yang menjadi polemik di Pilkada DKI itu ciri-ciri curang dalam
berdemokrasi.
Tahapan
Pemutakhiran DPT telah selesai dan prosesnya sangat panjang. Apalagi dengan
diberi kelonggaran dengan tidak wajibnya menunjukan kartu kaluarga (KK) bagi pemilih
tambahan. Peraturan KPU setiap saat dirubah, perlu konsistensi dengan aturan
yang sudah diterbitkan. Selain DPTb, indikasi curang juga terkuak saat
komisioner KPU ikut dalam rapat bersama timses Ahok beberapa minggu lalu, jelas
Bumi.
Menurut
Bumi, Indonesia Negara hukum, olehnya hukum sebagai dasar legalitas sekaligus
sebagai syarat berfungsinya Negara. Asas legalitas menandaskan Negara memakai
hukum, bukan kekuasaan sebagai kriteria keabsahannya. Untuk mendapat legitimasi
dilakukan dengan cara demokrasi. Menurut faham demokrasi, Negara harus
dilegitimasi dari kehendak mereka yang dikuasai. Olehnya diselenggarakan
Pemimilihan Umum. Pemilu adalah perwujudan demokrasi yang berkedaulatan rakyat.
Bagaimana kalau pemilih siluman yang dimobilisir melalui identitas palsu?
Disini cacatnya demokrasi.
Pemilu
berkualitas dipandang sebagai salah satu ciri kritis bahwa bangsa itu
demokratis, tapi Pemilu dan demokrasi bukanlah konsep yang sinonim. Pemilu
bahagian dari demokrasi, tapi bukan satu-satunya, karena Pemilu hanya salah
satu bentuk perwujudan demokrasi dari bentuk-bentuk lain. Pemilu adalah metode
Negara untuk merealisasikan kedaulatan rakyat, tandas Bumi.
Pasal
1 ayat (2) UUD 1945 (hasil amandemen) menyebutkan; “Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan sesuai Undang-Undang Dasar.” Rumusan ini
mensyaratkan Indonesia negara berkedaulatan rakyat, bukan berkedaulatan negara.
Prinsip
diatas berbeda dengan rumusan lama. Rumusan lama itu rumusan tentang paham
kedaulatan negara. Paham kedaulatan negara itu menghilangkan kedaulatan rakyat
dan mensubordinasikan orang-perseorangan kebawah kepentingan bersama yang
diwakili oleh negara.
“Pasca
amandemen pasal 1 ayat (2), kedaulatan telah berada ditangan rakyat, bukan lagi
kedaulatan negara. Tetapi secara faktual, justru semakin tidak demokratis yang
dialami oleh rakyat selaku pemegang kedaulatan. Demokrasi seolah dipasung,
diintervensi, sehingga esensi demokrasi menjadi hilang. Subtansi demokrasi
perlu dipikirkan, tidak hanya sebatas demokrasi prosedural. Demokrasi
prosedural hanya melihat mekanisme memilih wakil rakyat, memilih presiden / gubernur
/ walikota / bupati. Kualitas demokrasi hanya diukur dari suksesnya
penyelenggaraan Pemilu secara reguler. Demokrasi prosedural semakin menjauhkan
rakyat selaku pemilik kedaulatan. Cita-cita mulia demokrasi direduksi menjadi
sebatas hal yang prosedural dan teknis. Akibatnya, demokrasi hanya diwujudkan
dalam pemilu atau pilkada,” tegas Bumi.
Suara
rakyat dibutuhkan hanya ketika datangnya momentum pemilu, pilkada. Setelah itu,
rakyat tidak lagi dihiraukan, kebijakan negara tidak lagi berpihak pada rakyat
tidak perlu diotak atik. Penggusuran, pengangguran, harga-harga melambung
tinggi, pendidikan dan kesehatan dikomersialkan tidak menjadi pembahasan. Yang
dibahas sebatas tekhnis penyelenggaraan pemilu, pilkada dan bagaimana cara
meraih kekuasaan sekalipun dengan cara curang tapi dilegitimasi oleh negara
melalui penyelenggara Pilkada. Penggusuran misalnya yang menggusur kelompok
miskin dan mengakomodir group kapital jauh dari pembahasan dan jarang direspons
negara. Justru hal seperti itu dikritik dianggap menghambat, dan pelaku kritik
diperhadapkan dengan hukum.
Jika
demikian, maka demokrasi dalam cita-cita perlahan-lahan akan mati, itulah
kelemahan dalam praktik demokrasi Indonesia, kritik Bumi yang juga alumni
Himpunan Mahasiswa Islam ini. (red/akhmad)