Jeritan Sawit, Derita Petani: Kala Pupuk Nonsubsidi Mencekik Harapan

 



Aceh Tamiang, IMC - Kisah ini adalah gambaran pahit realita yang banyak dialami petani sawit kecil di berbagai pelosok Indonesia, termasuk di daerah Karang Baru, Aceh. Ini adalah cerita tentang perjuangan tak kenal lelah melawan harga pupuk nonsubsidi yang melambung tinggi, mengancam masa depan dan mata pencaharian mereka. Sabtu (19/07/25)

Pak Tani, sebut saja namanya demikian, adalah seorang petani sawit yang telah puluhan tahun menggarap lahan warisan leluhurnya. Pohon-pohon sawit menjadi tumpuan hidup keluarganya, menjanjikan harapan akan masa depan yang lebih baik. Setiap pagi, Pak Tani menyusuri kebunnya, merawat setiap batang sawit dengan penuh kasih sayang, membayangkan hasil panen yang melimpah. Panen demi panen berlalu, dan hasilnya cukup untuk menyekolahkan anak-anaknya dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Namun, badai mulai datang dari arah yang tak terduga: harga pupuk nonsubsidi melonjak drastis. Pupuk, bagi Pak Tani dan petani sawit lainnya, adalah nyawa bagi tanaman mereka. Tanpa pupuk yang cukup, produksi buah sawit akan menurun drastis, kualitasnya pun merosot.

Pada awalnya kenaikan harga ini dianggap sebagai fluktuasi biasa. Namun, seiring waktu, kenaikan itu tak terbendung. Harga pupuk yang biasa dibeli dengan harga terjangkau kini melampaui kemampuan finansial Pak Tani. Harga pupuk urea yang biasanya Rp 250.000 per karung, kini mencapai Rp 500.000 atau bahkan lebih. Pupuk NPK yang esensial untuk pertumbuhan sawit, harganya meroket dari Rp 350.000 menjadi Rp 700.000 ke atas.

Pak Tani dihadapkan pada dilema yang mencekik. Jika ia tetap memupuk sesuai dosis anjuran, biaya produksi akan membengkak tak terkendali, bahkan mungkin melebihi harga jual tandan buah segar (TBS) sawit. Ia bisa-bisa terjerat utang. Namun, jika ia mengurangi dosis pupuk atau bahkan tidak memupuk sama sekali, hasil panennya akan anjlok drastis. Pohon-pohon sawitnya akan kurus, buahnya kecil-kecil, bahkan gagal berbuah.

Akhirnya, dengan berat hati, Pak Tani memutuskan untuk mengurangi dosis pupuk. Ia berharap ini adalah solusi sementara, dan harga pupuk akan segera normal kembali. Namun, harapan itu pupus.

Untuk bertahan hidup, Pak Tani terpaksa mencari pinjaman ke tengkulak atau koperasi. Pinjaman ini digunakan untuk membeli sedikit pupuk, membayar upah buruh panen, dan memenuhi kebutuhan pokok. Namun, pinjaman ini justru menjadi beban baru, menjeratnya dalam lingkaran setan utang. Bunga pinjaman yang tinggi membuat Pak Tani semakin sulit keluar dari kesulitan.

Malam-malam Pak Tani seringkali diisi kegelisahan. Ia menatap langit gelap, memikirkan bagaimana caranya bisa bertahan di tengah situasi yang tak menentu ini. Harapan yang dulu membuncah di tengah hijaunya sawit, kini terasa mencekik.

Kisah Pak Tani adalah suara dari ribuan petani sawit kecil lainnya yang tengah berjuang di bawah bayang-bayang harga pupuk nonsubsidi yang melambung. Mereka adalah tulang punggung perekonomian daerah, namun seringkali terpinggirkan dari perhatian.

"Jeritan Sawit, Derita Petani: Kala Pupuk Nonsubsidi Mencekik Harapan" adalah seruan. Seruan agar pemerintah, pihak terkait, dan seluruh elemen masyarakat menyadari kondisi kritis ini. Tanpa intervensi yang berarti, bukan hanya masa depan petani sawit yang terancam, tetapi juga keberlanjutan industri sawit nasional secara keseluruhan.

Akankah harapan para petani sawit ini kembali bersinar, ataukah mereka akan terus tercekik dalam jeratan harga pupuk yang tak terjangkau?

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال