Proyek One Belt One Road China, Itu Jebakan Hutang


Foto : Prof. Tamam Achda 

Jakarta, IMC - Proyek One Belt One Road China diyakini dapat memberikan keuntungan bagi Indonesia. Dari 28 kerja sama antara Indonesia dan China dalam kerangka tersebut, nilainya mencapai US$91 miliar, atau lebih dari Rp1.288 triliun.

Hal itu disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Kemaritiman Ridwan Djamaluddin seperti dikutip bisnis.com (22/3/2019). Menurutnya, nilai proyek terbesar berada di Kalimantan Utara (Kaltara) dengan proyek hydropower.

Secara umum, berdasarkan pengajuan bisnis, Pemerintah Indonesia menawarkan dua kelompok proyek prioritas. Kelompok pertama mencakup empat koridor wilayah yakni Sumatera Utara (Sumut), Kaltara, Sulawesi Utara (Sulut), dan Bali.

Sementara itu, kelompok kedua terdiri atas beberapa proyek di Sumatera Selatan (Sumsel), Riau, Jambi, dan Papua.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan tahap pertama proyek skala besar dari inisiatif One Belt One Road China akan ditandatangani pada bulan April 2019.

Dalam pertemuan Global Maritime Fulcrum Belt And Road Initiatives(GMF –BRI), China sudah menyiapkan rancangan Framework Agreement untuk bekerja sama di Kuala Tanjung, Sumatra Utara (Sumut) sebagai proyek tahap pertama. Selanjutnya, ada beberapa tahap proyek kerja sama lain yang telah disepakati seperti Kawasan Industri Sei Mangkei dan kerja sama strategis pada Bandara Internasional Kualanamu untuk tahap kedua.

Kemudian, pengembangan energi bersih di kawasan Sungai Kayan, Kalimantan Utara (Kaltara), pengembangan kawasan ekonomi eksklusif di Bitung, Sulawesi Selatan (Sulsel), dan Kura-Kura Island di Bali," ujar Luhut sebagaimana dikutip bisnis.com (Kamis, 22/3/2019).

Salah satu proyek yang ditawarkan adalah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Jonggol. Jonggol yang dimaksud adalah sebuah kawasan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Menurut Hersubeno Arief, jika terealisir daerah yang berdekatan dengan kawasan wisata Puncak itu akan menjadi enclave baru komunitas pekerja Cina di Indonesia. Mirip Morowali di Sulawesi Tenggara.

Pilihan waktu penandatangannya pada bulan April menunjukkan ada sesuatu yang sangat penting, mendesak, sekaligus darurat. Sulit menghapus kecurigaan Jalur Sutera Modern ini sebagai proyek kejar tayang. Harus beres sebelum pilpres 17 April 2019.

Menurut Hersubeno Arief, terlihat ada kekhawatiran, jika konstelasi politik Indonesia pasca Pilpres 2019 berubah, proyek ini bisa tidak terlaksana. Karena itu harus dikebut sebelum terlambat.

Main tanda tangan, dan memaksakan proyek-proyek besar di masa injury time, ketika tenggat waktu hampir habis bukanlah hal yang baru bagi rezim Jokowi. Pemain dan orangnya juga itu-itu saja. Proyeknya juga ada kaitannya dengan kelompok yang itu-itu juga. Modusnya begitu-begitu juga.

Dewan Penasehat Rumah Pejuang Indonesia (RPI)  saat dihubungi media ini pada Minggu, (14/4/2019) menjelaskan rencana atas proyek tsb perlu dipikirkan kembali, ya perlu dihentikan. Itu jebakan hutang yang akan menyusahkan Indonesia. Selain itu proyek tsb cukup politis, hanya akan memperkuat pengaruh Cina dalam geopolitik global di Indonesia.

Guru besar dan Mantan dekan Fisip UNAS Jakarta ini menjelaskan, khusus utang luar negeri yang digunakan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur di banyak negara tidak selalu berjalan mulus, ada beberapa negara yang gagal bayar atau bangkrut. 

"Negara yang gagal membayar utang luar negeri seperti Zimbabwe yang memiliki utang sebesar 40 juta dolar AS kepada Tiongkok. Zimbabwe tak mampu membayarkan utangnya kepada Tiongkok, hingga akhirnya harus mengganti mata uangnnya menjadi Yuan sebagai imbalan penghapusan utang.

Demikian juga Nigeria yang disebabkan oleh model pembiayaan melalui utang yang disertai perjanjian merugikan negara penerima pinjaman dalam jangka panjang. Dalam hal ini Tiongkok mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal Tiongkok untuk pembangunan infrastruktur di Negeria.

Sri Lanka tidak mampu membayarkan utang luar negerinya untuk pembangunan infrastruktur. Sri Lanka sampai harus melepas Pelabuhannya dengan total Rp 1,1 triliun atau sebesar 70 persen sahamnya dijual kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Tiongkok.

Mereka membangun proyek infrastrukturnya lewat utang, akhirnya mereka tidak bisa bayar utang. Angola termasuk salah satu yang terjerat utang dan mengganti nilai mata uangnya menjadi Yuan.

Kebijakan apapun, jangan membawa Indonesia menjadi bangsa yang bangkrut. Tapi perlu direncanakan dengan komprehensip dan DPR perlu memberi persetujuan," jelasnya. (Ahmad Bumi)

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال