UU ITE & Kebebasan Berpendapat




Jakarta, IMC - Jonru Ginting, seorang Pegiat media sosial akhirnya ditahan Polda Metro Jaya pada 29/9/2017.


Jonru Ginting dilaporkan Muanas ke Polda Metro Jaya atas tuduhan penyebaran hate speech di dunia maya.

Jonru Ginting dipanggil, diperiksa dan langsung ditahan.

Jonru Ginting ditahan dengan sangkaan penyebaran ujaran kebencian, dijerat dengan Pasal 28 ayat (2) Jo. Pasal 45 ayat (2) UU Nomor : 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU RI Nomor : 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 

Jonru Ginting adalah satu dari 134 korban UU ITE sejak UU tsb diundangkan.

UU ITE telah menelan banyak korban, UU ITE seolah dijadikan alat penekan bagi orang-orang kritis, dll dan penafsiran pasal-pasalpun masih cukup membias dan saling kontradiktif dengan UU lain.

Pasal yang menjadi langganan diterapkan adalah pasal 27, 28, dan 29 UU ITE.

Membiasnya pasal-pasal dalam UU ITE dan multi tafsir misalnya makna pencemaran nama baik, penghinaan, kabar bohong, menakuti-nakuti dll.

Pasal 27 misalnya, seperti definisi menditribusikan yang tidak lagi membedakan antara komunikasi privat dan komunikasi publik. 

Istilah mentrasmisikan juga berarti melibatkan pihak lain seperti telekomunikasi, dll.

Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik juga tidak semuanya menjadi urusan pidana, karena ada syarat-syarat yang harus dipenuhi.

Selain itu, ada duplikasi hukum dan tumpangtindih baik dengan UUD 1945, UU Keterbukaan Informasi Publik No.14/2008, UU Pers No. 40/1999, UU Perlindungan Konsumen No. 8/1999, dan pasal 310 dan 311 KUHP. 

Sehingga yang terjadi muncul ketidakpastian hukum.

Banyak orang tidak menyadari kalau UU ITE No. 11/2008 itu dapat mengancam kebebasan berpendapat.

Banyak kelemahan yang perlu dikritik.

Karena rata-rata para netizen yang dipolisikan dianggap melanggar pasal 27, 28, dan 29 UU ITE.

Oleh karenanya, sebelum UU ITE ini diubah atau dihapus, ada baiknya para netizen lebih hati-hati dalam berpendapat di dunia maya maupun melalui media lain.

Karena aturan berpendapat ini tidak hanya tertuang di media sosial seperti blog, facebok, twiter, dan sebagainya, akan tetapi juga bisa dijerat melalui media komunikasi lain seperti SMS dan aplikasi chatting seperti whats App, Line, BBM, dan sebagainya. 

Barang bukti sengketa UU ITE di kepolisian seringkali hanya berupa screenshoot percakapan, dan masih menyisahkan perdebatan oleh para praktisi dan ahli hukum terkait menyangkut hukum pembuktian.

Pasal-pasal yang perlu diperhatikan adalah pasal 27, 28, dan 29. 

Untuk pasal 27 dan 28 ancaman bisa mencapai 6 tahun penjara, sedangkan pasal 29 bisa terancam 12 tahun penjara. 

Yang memberatkan bagi yang melanggar adalah  bisa langsung ditahan selama penyelidikan/penyidikan karena hukuman pidananya di atas lima tahun. 

Ukuran kejahatan di ranah maya ini sudah setara dengan pencurian, pembunuhan dan pemerkosaan, bahkan terkadang melebihi hukuman bagi para koruptor.

Berikut isi pasal 27, 28, dan 29 UU ITE :

Pasal 27

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Pasal 28

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Pasal 29

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut‐nakuti yang ditujukan secara pribadi. 

Pemilik bloger juga merasa terancam. Apa blogger termasuk dalam dunia jurnalis?

Para jurnalis dalam menjalankan tugasnya tidak dapat dihukum karena mendapat perlindungan UU Pers no 40/1999. 

Mereka memiliki hak tolak dan mekanisme hak jawab dimana jika terjadi sengketa maka ke Dewan Pers. 

Blogger sebenarnya dilindungi oleh pasal 28 E (3) dimana setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. 

Juga pasal 28 F yang mengemukakan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. 

Meski dilindungi oleh UUD 1945 blogger masih bisa dijerat lewat pasal-pasal UU ITE.

Blogger yang rentan terjerat UU ITE adalah yang menulis karya jurnalistik di blog pribadinya. 

Sebaiknya bagi para pemilik bloger dapat membuat kode etik sendiri bagi blogger dan netizen. 

Blogger juga dapat mengacu pada pedoman media cyber dan kode etik jurnalis yang dikeluarkan Dewan Pers. 

Pedoman media cyber memuat ketentuan tentang tidak memuat konten yang bersifat fitnah, kekerasan, prasangka, kebencian, pornografi, diskriminatif, pelecehan dan sebagainya. 

Tapi ada baiknya blogger yang kerap menulis karya jurnalistiknya dapat bergabung dengan AJI sehingga terlindungi oleh UU Pers.

Pasal dalam UU ITE ini umumnya mengincar orang-orang vokal seperti aktivis gerakan, aktivis anti korupsi, para oposan, jurnalis, dan whistle blower. 

Berdasar pencatatan dan penelusuran, ada empat pola penerapan UU ITE yakni balas dendam, shock therapy, membungkam kritik, dan untuk barter kasus hukum lainnya.

Dampaknya akan membuat mereka yang vokal menjadi jera untuk mengungkapkan pendapat, narasumber kritis bakal tidak berpendapat juga bisa terjadi penutupan media karena dituntut dan dipaksa oleh penguasa.

Untuk itu para blogger, netizen dan para aktivis dan ahli hukum dapat mengkaji seterusnya dapat berpendapat dan melancarkan gerakan dengan tuntutan untuk dilakukan revisi atau dihapus UU ITE ini.

Sepanjang UU ini belum direvisi / dihapus, maka para blogger dan netizen harus hati-hati di dunia maya berupa propaganda negatif terhadap SARA kepada individu, organisasi, atau pemerintah karena  pasal-pasal UU ITE mengatur tentang hate speech. 

Antisipasi ungkapan kebencian ini juga disosialisasikan melalui surat edaran SE/06/X/2015 oleh Polri.

Penulis : Akhmad Bumi
Praktisi Hukum
Wakil Ketua Umum Brigade Nusantar
Aktifis 98

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال