Menolak Free Fight Liberalism

Menolak Free Fight Liberalism

Oleh Akhmad Bumi *)

BUNG HATTA adalah penggagas dan konseptor pasal 33 UUD 1945 bagi politik perekonomian Indonesia. 

Makna pasal 33, kemakmuran rakyat diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. 





Karena kemakmuran adalah bagi semua orang, maka cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 

Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan sumber-sumber kemakmuran rakyat yang harus dikuasai negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Olehnya, pasal 33 adalah sendi utama bagi politik perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia. 

Pasal 33 adalah pilar penentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental. 

Pasal 33 mengatur sistem politik ekonomi Indonesia, sedang pasal 27, 31, 34 dst adalah pelaksana, aturan untuk melaksanakan demokrasi ekonomi Indonesia. 

Kelahiran pasal 33, untuk mencegah free fight liberalism  agar kepentingan rakyat banyak tidak dirugikan, tidak ditindas demi kepentingan orang-seorang yang mempunyai kuasa dan bagi mereka yang memegang tampuk produksi. 

Oleh sebab itu usaha untuk mencapai demokrasi ekonomi, mencapai cita-cita terwujudnya pasal 33 merupakan kewajiban sosial dan moral seluruh bangsa.

Di Era Presiden Jokowi, banyak kebijakan yang diluar nalar dan melanggar pasal 33.

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung misalnya, yang diserahkan Presiden Jokowi ke Cina, ini nalar yang tidak normal. 

Presiden Jokowi sepertinya tidak ingin memahami pasal 33

Presiden Jokowi berfikir seolah proyek kreta api itu hanya bisnis semata yang dituangkan dalam kerja sama B to B (bussines to bussines).

Padahal BUMN itu jelas milik negara, karena negara yang menjamin modal, eksistensi dan semua hal yang terkait didalamnya, bukan diserahkan ke swasta / asing.

Demikian juga reklamasi. Reklamasi itu ada di banyak di negara-negara dunia, itu sudah hal yang jamak terjadi, bukan hal baru.

Tapi yang membedakan dengan Indonesia adalah pelaku reklamasi sendiri.

Di negara lain, reklamasi itu dilakukan oleh negara.

Negara mesti menjadi landlord atau pemilik tanah di lahan reklamasi. 

Hal itu merupakan salah satu syarat yang bisa digunakan untuk melanjutkan kegiatan reklamasi. Di Indonesia, di era ini, semuanya diaerahkan ke Asing/Cina.

Seharusnya swasta diposisikan sebagai pihak yang membantu negara untuk mengembangkan tanah tersebut, bukan memilikinya atau sebagai pemilik.

Demikian juga minyak bumi. Penguasaan minyak bumi Indonesia hampir 90% telah dikuasai asing. 

Proyek Exxon di Aceh dan Freeport di Papua, betapa rakyat berada dalam kemiskinan. Padahal kekayaan tambangnya dikuras habis, padahal itu kekayaan kita.

Salah satu ladang potensial minyak Indonesia adalah Blok Cepu. 

Secara bisnis potensi minyak Blok Cepu sangat menggiurkan. 

Setiap harinya, ladang minyak Blok Cepu menghasilkan sekitar 200.000 barel perhari. 

Dengan asumsi harga minyak mentah dunia US $ 100 per barel, setiap hari menghasilkan US $ 20,000,000 perhari, kalau setahun (365 hari) US $7,300,000,000.

Yang paling diuntungkan dalam pengelolaan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam yang terkandung di Indonesia adalah para perusahaan asing.

Belum lagi pulau-pulau dijual. BUMN, hutang dll, semuanya diserahkan dan digantungkan di asing. 

Seharusnya negara wajib campur tangan didalamnya dan berfikir lebih cerdas.

Campur tangan negara harus lebih besar dalam menjamin terlaksananya kedaulatan ekonomi. 

Ekonomi pasar yang bermaksud menempatkan kekuatan pasar untuk mengatur perekonomian Indonesia, dianggap tidak sesuai dengan konsep politik-ekonomi bangsa sesuai pasal 33.

Negara harus menguasai sumber-sumber kemakmuran rakyat untuk dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. 

Disini tampak penting “Kepemiminan Negara” harus berperan besar bersama rakyat dalam keikutsertaannya dalam membawah kedaulatan ekonomi sesuai kehendak pasal 33 UUD 1945. Dibutuhkan pemimpin nasional yang berani tidak menghamba pada asing.

Disini, konsep Bung Karno tentang tatanan politik perekonomian dan demokrasi sosial  ikut menyempurnakan konsep demokrasi ekonomi bangsa. 

Karena Bung Karno menyebut pandangannya tentang politik perekonomian Indonesia dengan sebutan sosio-demokrasi yaitu demokrasi yang bukan demokrasi barat, tapi politik-economische-democratie, yaitu demokrasi dengan kesejahteraan. 

Ini dinyatakan Bung Karno dalam pidatonya didepan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan.

Hanya demokrasi politik belum menyelamatkan rakyat, tapi perlu ada demokrasi ekonomi untuk menjamin keselamatan rakyat (sejahtera). 

Nasionalisme Indonesia harus ada sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. 

Didalam sosio-nasionalisme ada nasionalisme politik dan nasionalisme ekonomi. 

Didalam sosio-demokrasi ada demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.

Hakekat demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat yakni pemerintahan yang memberi hak kepada semua rakyat untuk ikut memerintah, ikut menentukan nasib bangsa dan negara. 

Faham demokrasi awalnya muncul dari revolusi Perancis, sebelum revolusi Perancis, pemerintahan Eropa adalah pemerintahan otokrasi, didalam tangan Raja, rakyat tak ikut bersuara, rakyat hanya nurut saja apa mau Raja. 

Bahkan Raja mengakui dirinya sebagai wakil Tuhan dimuka bumi.

Dalam soal ini, Raja  dibentengi oleh kaum borjuis. Raja dan kaum borjuis adalah gambaran kelompok penguasa pada waktu itu. 

Kemudian datanglah kaum baru (kaum pergerakan), penentang Raja dan kelompok-kelompoknya dan ingin merebut kekuasaan itu, akhirnya kekuasaan itu direbut, maka terjadilah atau menghasilkan revolusi Perancis. 

Kaum pergerakan menang, maka muncullah pemerintahan rakyat atau demokrasi difase itu. 

Raja runtuh, kelompok-kelompok borjuis runtuh, diadakan parlemen-parlemen, dimana rakyat mengirimkan wakil-wakilnya, timbullah pemerintahan demokrasi dimana-mana.

Indonesia adalah negara demokrasi, pemerintahan oleh rakyat. Dinegara demokrasi seperti Indonesia ini, jika pemerintah (negara) tidak mendengar isi penderitaan rakyat, maka bukan  disebut negara demokrasi, tapi negara otokrasi, negara dipimpin oleh Raja, kemudian didukung kaum-kaum borjuis terpilih, sebut saja yang berada digelanggang politik dan yang sedang mengusai ekonomi bangsa saat ini.

Realitas, dalam negara demokrasi Indonesia, rakyat menjadi tuan didalam urusan politik, disaat bersamaan rakyat menjadi budak didalam urusan ekonomi. 

Pemerintah telah mampu membuat pertentangan antara sistem politik dan sistem ekonomi Indonesia. 

Pasal 33 adalah pasal hampa dibenak rezim politik Indonesia sekarang.

Nasionalisme Indonesia bukan hanya mengkramatkan “demokrasi” dengan mencari kilaunya negeri diluar (kapitalisme), tetapi nasionalisme Indonesia adalah mencari keselamatan seluruh manusia Indonesia untuk hidup sejahtera. 

Sosio-nasionalisme adalah nasionalismenya rakyat, dan sosio-demokrasi adalah adalah demokrasinya rakyat, olehnya disebut sosio-demokrasi adalah “pencaharian merdeka”---kemerdekaan universal dan hak memperoleh pekerjaan dari kemerdekaan individual (pasal 27 UUD 1945).

Nasionalisme dan demokrasi harus tumbuh dan berdiri didalam hati sanubari rakyat Indonesia, bukan nasionalisme dan demokrasi yang tumbuh dihati kaum kapitalis. 

Olehnya penting bagi rakyat Indonesia untuk melancarkan asas non-kooperatif dalam memperjuangkan keselamatan rakyat. Yakni, asas yang menolak kerjasama disegala lapangan politik-ekonomi yang beraliran kapitalis, yang lebih menggadaikan bangsa yang kaya raya ini. 

Non-kooperatif adalah asas perjuangan yang tak kenal damai dengan kaum pertuanan. 

Oleh sebab itu, non-kooperatif juga berisi radikalisme-radikalisme hati, radikalisme pikiran, radikalisme sepak terjang, radikalisme dalam sikap lahir dan bathin, radikalime dalam menolak free fight liberalism.

)* Direktur Lembaga Cita Indonesia (eLCINDO)

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال