Malang,
IMC---
Untuk meningkatkan budaya literasi yang baik di bagi umat Nasrani (Katolik dan
Protestan), maka Universitas Katolik Widya Karya Malang (UKWK) membuat satu
gebrakan baru yakni mengadakan Workshop Menulis Cerpen Satu Paragraf
(Pentigraf) yang diadakan di Aula UKWK selama dua hari sejak Sabtu dan Minggu
(8-9/7/2017) kemarin.
Workshop Menulis Pentigraf ini merupakan gagasan dan
kerjasama antara Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)
Universitas Katolik Widya Karya dengan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
(KPK DG).
Kegiatan ini diikuti oleh ratusan orang yang terdiri
dari para guru (guru PAUD, SD, SMP, SMA/ SMK) lintas agama, kaum muda lintas
agama, pemerhati literasi, pendidik/ dosen, anak sekolah, dan orangtua. Dan
kegiatan ini dibuka oleh Rektor UKWK Pastor Albertus Herwanta OCarm.
Dunia literasi, menurut pandangan Pastor Albert,
demikian dipanggil, merupakan suatu dunia yang sungguh bernas dan menantang
karena di dalamnya terdapat miliaran ilmu yang kini belum disentuh, dan
dipelajari oleh orang-orang Nasrani.
“Lembaga UKWK punya tanggung moral yang besar
terhadap dunia literasi dan setiap potensi yang ada seharusnya dikembangkan
dengan baik. Sehingga menjadi kekayaan yang akan dibagikan kepada orang lain.
Kendala yang sering dihadapi mahasiswa adalah menulis. Kita menjadi Katolik
atau Kristen Protestan, karena kita telah memulainya dengan menulis. Sejarah
Yesus dimulai dari menulis. Dari tulisan-tulisan yang ada di dalam Kitab Suci
itulah, yang akhirnya membawa kita untuk mengenal Yesus Kristus,” kata Pastor
Albert.
“Menulis itu kebudayaan. Tanpa menulis, manusia
(kita) akan kehilangan kebudayaan. Menulis itu memang susah kalau tidak mau
berlatih. Karena tidak mau menulis, akhirnya tidak produktif. Banyak orang yang
pada akhirnya diselamatkan lewat tulisan. Banyak orang yang merasa terhibur
karena lewat tulisan. Banyak orang yang merasa sedih karena lewat tulisan.
Banyak orang yang saling menyalahkan karena lewat tulisan. Tulisan itu harus
bisa menjadi budaya. Karena di dalam budaya yang baik, akan pula melahirkan
tulisan dan manusia yang baik pula,” tambah Pastor asal Jawa Tengah ini.
Antonius Agus Mahendro Sekretaris Nasional KPK-DG,
dalam pandangannya menyatakan, deo gratias selalu membawa kabar sukacita bagi
semua manusia lewat literasi. Karena itu, menulis bukanlah hal baru atau hal
baku. Melainkan, menulis itu seorang manusia telah “menyerahkan” dirinya dan
berjumpa dengan orang lain lewat tulisan. Dan lewat tulisan pula, sesama
manusia dengan sendirinya dapat saling menukar informasi serta pengalaman dan
pengetahuan.
“Empat issue di dalam Deo Gratias yang akan diangkat
untuk dibahas yakni nasionalisme, radikalisme, ekologi, dan masyarakat terbuka
(masyarakat ekonomi). Jangan main-main dengan tulisan. Empat issue itu yang
akan membuat kita lebih giat lagi dalam menulis. Jangan takut untuk menulis,”
pesan Mahendro, mengingatkan.
Penyair Tangsoe Tjahyono, mengungkapkan bahwa dalam
elemen-elemen narasi itu, terdapat alur/ konflik, tokoh, latar, dan tema.
“Menonton film, itu sama seperti menonton konflik. Membaca
buku, itu sama seperti membaca konflik. Alur itu adalah konflik yang dibuat
oleh si penulis. Di dalam alur itu, hiduplah konflik. Ada konflik batin,
konflik suara hati, dan lain sebagainya. Nah, sebagai penulis, bagaimana
menyikapi konflik itu. Bagi saya pribadi, seorang penulis lewat tulisannya bisa
menawarkan pesan moral dengan cepat, mesti harus berbelit. Dan, bagi saya,
menulis itu rekreasi yang murah. Karena ada imajinasi yang liar, yang tumbuh di
dalamnya,” kata Penyair kelahiran Jember, Jawa Timur ini.
Sedangkan Sastrawan Eka Budianta, kosakata seorang
penulis adalah saldo. “Kalau seorang penulis punya kosakata yang baik, misalkan
200 kata, itu belum bisa membuat (menulis) cerita. Minimal harus punya kosakata
yang banyak. Baik saja tidak cukup. Harus banyak. Banyak juga tidak menjamin,
kalau tidak ditekuni dengan membaca dan menulis,” kata Sastrawan Eka.
Selain mengajak peserta workshop untuk mulai menulis
(mencintai dunia literasi), Eka juga menyarankan peserta untuk memulai menulis
dengan mengikuti langkah sederhana yakni memanfaatkan media sosial,
mengoptimalisasi diskusi (harus lebih sering dan focus), dan meningkatkan
produktifitas serta kualitas karya.
Agung Widyatmoko (45 tahun) ketika ditanya mengenai
manfaat apa yang didapat dari mengikuti workshop pentigraf? “Menambah
pengetahun dan ilmu. Karena saya sudah lama vakum dengan dunia literasi.
Dulunya saya sering menulis di blog. Sekarang di facebook. Artinya, dengan saya mengikuti kembali workshop pentigraf
ini, saya akan diperkaya serta diingatkan untuk kembali memulai proses
kreatifitas menulis,” kata peserta dari Surabaya ini.
Sementara itu Gabriella Amalinda Dwi K, mahasiswi
keperawatan RKZ Malang, mengungkapkan kegembiraannya bahwa dirinya sudah sangat
lama vakum di dunia literasi. Tapi dengan kembali mengikuti workshop pentigraf,
dirinya ingin kembali membangkitkan literasi yang dulunya sempat membuatnya
dikenal karena keseringan menulis. “Mungkin ya ini saatnya bagi aku untuk
bangkit dan memulai kembali menulis. Bagiku, dunia literasi (baca- tulis) harus
dihidupkan kembali di kalangan umat Katolik dan Protestan. Kalau tidak dihidupkan
kembali, akan sangat mempengaruhi citra gereja Katolik dan Protestan,”
tegasnya. (Felix)