Kuota 30% di Parlemen, Diskriminasi terhadap Perempuan
Oleh Akhmad
Bumi
Jakarta, IMC - Indonesia Negara hukum, olehnya hukum
sebagai dasar legalitas sekaligus sebagai syarat berfungsinya sebuah Negara.
Asas legalitas menandakan Negara memakai hukum, bukan kekuasaan sebagai kriteria
keabsahannya.
Untuk mendapat
legitimasi / keabsahannya dilakukan dengan cara demokrasi. Menurut faham
demokrasi, Negara harus dilegitimasi dari kehendak mereka yang dikuasai. Dalam
konteks ini, olehnya kita bicara tentang Pemilu(pemilihan umum). Pemilu adalah
perwujudan demokrasi yang berkedaulatan rakyat.
Tahun 2017
adalah tahun ancang-ancang menuju Pemilu 2019. Pemilu legislatif dan Pemilu
presiden. Pemilu itu bagian dari demokrasi, tapi bukan satu-satunya, karena
Pemilu hanya salah satu bentuk perwujudan demokrasi dari bentuk-bentuk lain.
Pemilu adalah metode Negara untuk merealisasikan kedaulatan rakyat.
Pemilu dan
demokrasi bukanlah konsep yang sinonim, tapi Pemilu berkualitas dipandang
sebagai salah satu ciri kritis bahwa bangsa itu demokratis. Kualitas atau tidak
Pemilu ditentukan 3 (tiga) hal; Pertama, electoral proses yang
didalam menyangkut struktur, peserta, penyelenggara dan mekanisme.
Kedua, electoral laws yang menetapkan asas, tujuan, sistem dan dampak
Pemilu. Ketiga,electoral formula yakni rumusan tentang pola dan mekanisme
penentuan siapa atau Parpol mana yang akan jadi pemenang.
Karena Pemilu
itu bersifat umum, olehnya semua warga tanpa diskriminasi ras, suku, agama,
aliran pemikiran, aliran politik dan jenis kelamin berhak dipilih dan memilih,
termasuk perempuan, dalam tulisan ini disoroti kuata 30% untuk perempuan.
Baca juga : Perilaku Curang Membuat Demokrasi Cacat
Penetapan
kuota 30%
Penetapan
kuota 30% untuk perempuan sebagaimana diatur Undang-undang disatu sisi adalah
langkah maju, babak baru politik perempuan Indonesia, mendorong perempuan
Indonesia untuk terlibat dalam dunia politik. Olehnya, pandangan selama ini
bahwa politik adalah dunia milik laki-laki didekonstruksi menjadi strategi
perjuangan semua warga Negara tanpa membeda-bedakankan termasuk jenis kelamin.
Pengaturan
kuota 30% didasari argumentasi bahwa perempuan itu lemah atau dilemahkan oleh
politik. Argumentasi itu tidak sepenuhnya tepat. Perempuan itu lemah atau
dilemahkan bukan karena sistem politik tapi dipengaruhi oleh budaya
(kebudayaan). Sistem politik Indonesia mengakui semua warga Negara sama, tidak
ada pengkelasan warga Negara bahwa laki-laki sebagai warga Negara kelas satu
dan perempuan sebagai warga Negara kelas dua dan seterusnya.
Kebudayaan
yang semestinya menjawab konstruksi sosial kita tentang posisi perempuan dalam
masyarakat. Karena kita tidak bisa mengelak fakta, lapisan epistemik masyarakat
kita masih bertipikal patriarkatyang membumi. Selama ini kesadaran politik
perempuan rendah, itu karena masalah pra-politik, yakni sebuah
masalah kebudayaan yang berdampak pada politik.
Membangkitkan
kesadaran masyarakat untuk mendukung dan memilih calon perempuan dalam Pemilu
berarti terlebih dahulu menghancurkan lapisan epistemik yang mengakar kuat
secara patriarkat. Karena kebudayaan yang membentuk lapisan patriarkat, maka
pola penghancuran dilakukan dengan jalan kebudayaan pula.
Persoalan
mendasar yang mesti dijawab adalah konstruksi sosial tentang peran perempuan
dalam masyarakat. Konstruksi sosial yang ada sekarang adalah penghalang
kesederajatan perempuan dengan laki-laki. Dalam kebudayaan masyarakat
patriarkat kedudukan perempuan dipandang rendah. Kaum perempuan tidak dipandang
sebagai mitra sederajat dengan laki-laki. Hal itu kemudian mengokohkan dominasi
laki-laki atas perempuan.
Perendahan
martabat perempuan itu sudah berjalan dalam rentang waktu yang panjang, sejak
zaman Yunani kuno. Oleh Aristoteles (384-322 SM) berteori tentang organisasi
alamiah sebuah masyarakat bersistem hirarkhi yang terdiri dari subordinasi.
Menurut Aristoteles, sesuai kodrat sangat pantas jiwa memerintah badan, tuan
memerintah budak, dan laki-laki memerintah perempuan. Dualisme patriarkat
inilah yang mesti ditolak dengan jalan kebudayaan yang radikal.
Fakta inilah
kemudian dilawan dengan gerakan feminisme. Feminisme sebuah gerakan sosial yang
berakar dari pengalaman kaum perempuan yang berjuang dan ingin bebas dari
diskriminasi dan penindasan.
Baca juga : Hukum Progresif
Praktis-pragmatis
Penetapan
kuata 30% keterwakilan perempuan dipandang menantang. Pertanyaannya, apakah
dengan affirmative action yang
mengkuotakan 30% keterwakilan perempuan itu bisa terwujud sesuai harapan?
Jangan sampai hanya menghasilkan apa sebaliknya dari yang diharapkan.
Pada sisi
lain, pengkuotaan 30% perempuan adalah bentuk pragmatisme politik. Semangat
pragmatisme adalah semangat yang mementingkan nilai kegunaan praktis dari apa
yang ada sekarang bukan untuk masa depan.
Mengafirmasi
keterlibatan perempuan dalam Undang-undang juga dipandang merendahkan
perempuan. Bagaimana tidak, hanya untuk memenuhi syarat formal Undang-undang
tentang kuota 30%, perempuan yang selama ini hanya sibuk dengan dunianya
sebagai ibu rumah tangga yang tidak memiliki pengetahuan politik yang memadai
dipaksa untuk bersedia dicalonkan hanya untuk memenuhi syarat formal Caleg yang
diharuskan Undang-undang. Lain hal dengan perempuan yang selama ini telah
berkecimpung jauh dalam dunia politik.
Penciptakan
kuota 30% keterwakilan perempuan juga melahirkan ketergantungan baru. Perempuan
bisa masuk politik tergantung belas kasih Undang-undang, ketergantungan kepada
Undang-undang yang memberikan ruang. Begitu Undang-undang diubah dengan
dihapusnya pasal pengkuotaan 30% tersebut, disaat itu lenyap pula perempuan
dipanggung politik.
Pengkuotaan
30% juga dipandang bersifat sementara, sekedar membuka pintu keterlibatan
perempuan dalam politik, sekalipun dilihat dari kacamata etika politik,
Undang-undang itu dilahirkan sebagai bentuk diskriminatif terhadap perempuan.
Karena tidak sejalan dengan asas similia similibus, bahwa semua orang
memiliki kedudukan sama didepan hukum dan karena itu harus diperlakukan
sama, equality befor the lawdalam konsep rule of
law dinegara-negara Anglo-saxon. Dalam sistem politik dan sistem hukum
Indonesia, konstitusi dalam beberapa zaman tidak pernah melarang atau tidak
pernah membatasi perempuan terlibat dalam politik.
Adalah paradoksal, kita
mau mengatasi masalah diskriminasi perempuan tapi justru dilakukan dengan
cara-cara yang diskriminasi. Inilah yang disebut keadilan formal. Padahal
keadilan hukum harus mencakup aspek keadilan substansial, tidak harus prosedur
benar berdasar Undang-undang, tapi bagaimana perempuan itu dimaklumi oleh
kebudayaan sejajar dengan laki-laki dalam berbagai aspek.
Olehnya,
nilai-nilai positif dari gerakan perempuan selama ini mesti dijadikan patokan
untuk memberdayakan perempuan dengan merombak secara radikal sistem kebudayaan
yang mengakar kuat dimaksud. Tanpa pemberdayaan dan merombak sistem kebudayaan
itu, kita tidak bisa berharap banyak terhadap perempuan untuk terlibat dalam
dunia politik sekalipun telah diharuskan Undang-undang, kecuali sekedar
memenuhi syarat formal Undang-undang dimaksud.
Seksisme dan
Androsentrisme
Agar perempuan
disejajarkan dalam sistem,
maka seksisme dan androsentrisme sebagai nilai yang
mengakar dalam kebudayaan mesti dibongkar dengan sungguh-sungguh, dan itu telah
dikampanyekan sejak lama dalam gerakan feminisme baik gerakan feminisme
kultural, feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme sosialis maupun
fenisme religius yang telah berlangsung sejak abad ke-19.
Melawan seksisme adalah
gerakan yang menolak determinisme biologis sebagai dasar penentuan peran
perempuan dalam pelbagai kehidupan masyarakat, politik, sosial, ekonomi dan
budaya. Melawan androsentrisme yakni melawan segala sesuatu yang
bertalian dengan kaum laki-laki menjadi hukum, sedang yang berpautan dengan
perempuan hanyalah pengecualian. Kaidah kaum laki-laki adalah kaidah manusia.
Seksisme dan androsentrisme kemudian
ditentang oleh Simone de Beaucoir, seorang filsof perempuan, yang
mengatakan ‘perempuan adalah yang lain’. Kalimat ‘yang lain’ kemudian
dihubungkan dengan filsafat dialektis Hegel bahwa sesuatu itu baru
berarti kalau dia melibatkan yang lain atau yang bertentangan dengannya. Suami
misalnya, hanya dapat dimengerti dalam kaitan dengan istri, demikian
sebaliknya. Kesuamian seseorang laki-laki tidak bisa dimengerti dalam dirinya
sendiri, melainkan hanya bisa dimengerti kaitan dengan yang lain yakni istri. Tanpa
kehadiran istri kita tidak bisa memahami pengertian suami. Pengertian secara
dialektis diatas menandaskan bahwa laki-laki dan perempuan adalah manusia
sederajat yang saling mengandaikan.
Kerangka
dasariah diatas kemudian dikesampingkan oleh kerja-kerja kebudayaan.
Nilai-nilai seksisme dan androsentrismeditanamkan dan berasal
dari agama dan adat sedia kala. Oleh kebudayaan, perbedaan laki-laki dan
perempuan berasal dari alam berasal. Perempuan sebagai istri sekaligus sebagai
ibu melahirkan, sedangkan laki-laki itu kuat karena dilengkapi kesanggupan
fisik dan bekerja secara lebih berat. Perbedaan karena penentuan alam dalam
nilai kebudayaan ini harusnya dipakai untuk saling melengkapi, bukan untuk
saling menindas. Perbedaan itu tidak hanya diterima tapi perlu digunakan
sebagai harta yang dapat menantang dan membahagiakan. Jika perbedaan itu
dihargai oleh kebudayaan, maka keduanya akan saling bergantungan antar
keduanya.
Olehnya,
masalah perempuan yang dihadapi saat ini bukan terletak pada sistem politik tapi
adalah soal kebudayaan. Karena itu strategi yang tepat adalah tidak
dengan affirmative action didalam sistem politik melalui
Undang-undang tapi dengan affirmative action didalam dunia
kebudayaan, agar perempuan tidak menjadi asing didunia politik, tidak
diberlakukan secara diskriminatif, tidak dipandang praktis-pragmatis, tidak
dilemahkan tapi mesti disejajarkan dengan
melawanseksisme dan androsentrisme seperti yang telah lama
dikampanyekan dalam gerakan feminisme.
Inilah salah
satu tugas Negara, warga bangsa dan lebih-lebih kaum perempuan yang tengah
berjuang agar diperlakukan secara adil oleh kebudayaan. Tanpa merombak
kebudayaan yang mengakar kuat dinegeri ini, kita tidak bisa berharap banyak
pada perempuan untuk dilibatkan secara paripurna dalam politik. (red)
Tags
Opini