Jeritan Dari Balik Puing: Rakyat Aceh Tamiang Memohon Presiden Prabowo Tetapkan Status Bencana Nasional
Aceh Tamiang, IMC – Satu bulan telah berlalu sejak badai dan bencana dahsyat menyapu tanah Aceh Tamiang pada 26 November 2025. Namun, alih-alih proses pemulihan, luka yang ditinggalkan kian menganga. Hari ini, Jumat (12/12/2025), ribuan rakyat Aceh Tamiang melancarkan permohonan terakhir yang paling mendalam dan mendesak kepada Presiden Republik Indonesia, H. Prabowo Subianto.
Bertempat di belakang kantor bupati, tepatnya di tribun Kabupaten Aceh Tamiang, warga yang kehilangan segalanya berkumpul. Mereka datang bukan dengan amarah, melainkan dengan air mata dan satu permintaan tunggal: Penetapan Status Bencana Nasional.
"Kami Tidak Membuat Onar, Kami Hanya Ingin Bertahan Hidup"
Suasana haru menyelimuti titik kumpul warga. Dalam aksi damai tersebut, perwakilan rakyat Aceh Tamiang menegaskan bahwa permohonan ini adalah harapan terakhir mereka.
"Kami tidak membuat keributan, kami tidak membuat onar, kami tidak sedikit pun berniat menghadang langkah Presiden Prabowo Subianto. Beliau adalah pemimpin kami. Namun, kami memohon dengan sangat, lihatlah kondisi kami," ujar salah satu warga dengan suara bergetar. "Tetapkanlah Aceh, khususnya Tamiang, sebagai Bencana Nasional. Kami lelah digantung oleh ketidakpastian."
Masyarakat menyadari betul bahwa jika pemulihan hanya mengandalkan mekanisme anggaran biasa (APBN/APBD) tanpa status darurat nasional, proses pembangunan kembali akan berjalan sangat lambat, sementara 9.346 kepala keluarga masih mendekam di pengungsian tanpa atap yang pasti.
Bencana satu bulan lalu melampaui batas musibah biasa. Ini adalah "kiamat kecil" bagi infrastruktur dan sendi kehidupan sosial di Aceh Tamiang. Data terkini menunjukkan kehancuran yang sangat masif, membutuhkan intervensi tingkat nasional yang cepat: Rumah Tinggal Rakyat (Musnah/Hilang) 9.346 Unit. Fasilitas Pendidikan (Sekolah/Pusdik) 66. Sarana Ibadah 43 Unit. Fasilitas Kesehatan (Fasyankes) 43 Unit. Perkantoran Pemerintah 67 Unit. Ruko dan Kios Rakyat 156 Unit. Jembatan (Akses Utama Terputus) 3.
Kekhawatiran utama warga adalah masa depan anak-anak mereka yang terancam terkubur bersama puing-puing. Tanpa campur tangan langsung dari kekuasaan tertinggi negara, pemulihan Aceh Tamiang diprediksi akan memakan waktu bertahun-tahun, memaksa ribuan jiwa tetap berada di bawah tenda pengungsian yang mulai rapuh.
"Anak-anak kami adalah korban. Kami semua korban. Kami tidak punya niatan menghalau kehadiran Presiden, kami hanya ingin beliau mendengar bahwa kami sedang sekarat secara ekonomi dan mental. Tolong mengerti perasaan kami, Pak Presiden," tutup pernyataan warga.
Aceh Tamiang kini menanti. Bukan sekadar kunjungan seremonial, melainkan sebuah keputusan besar dari meja Presiden di Jakarta untuk menyelamatkan martabat dan kehidupan ribuan rakyatnya yang kini tak lagi memiliki apa-apa selain harapan pada pemimpin mereka.

