Gelombang Kekecewaan Menerjang Korban, Anggota DPR RI dan DPRA "Menghilang" Pasca-Banjir Bandang
Aceh Tamiang, IMC– Di bawah langit kelabu yang menyelimuti sisa-sisa bencana, tangis pilu Aceh Tamiang bukan hanya disebabkan oleh amukan air bah. Sebuah gelombang kekecewaan yang jauh lebih pahit kini menerjang warga yang terpuruk ketiadaan sosok para wakil rakyat. Sabtu (06/12/25)
Saat ribuan kepala keluarga berjuang membersihkan lumpur yang menenggelamkan harapan, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) maupun Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang seharusnya menjadi jangkar pertolongan memilih untuk menghilang secara misterius.
Dari pelosok desa hingga pusat kecamatan, kesaksian warga seragam dan menusuk.
"Tidak nampak sama sekali batang hidung mereka." Tidak ada uluran tangan, tidak ada bantuan logistik atas nama dewan, bahkan sekadar kunjungan empat mata untuk menyentuh hati para korban.
Kekecewaan ini meledak menjadi kemarahan yang sah di tengah masyarakat.
"Mereka wakil rakyat, Kenapa Mereka Tidak Peduli?!" teriak seorang korban dengan nada putus asa yang memilukan. "Apakah mereka berpikir bantuan dari Jakarta sudah cukup sehingga mereka tidak perlu lagi memikirkan kami? Kami ini rakyat yang memberikan suara! Suara kami wakilkan kepada mereka. Kenapa Kini Mereka Meninggalkan Kami?"
Kritik pedas dan telanjang diarahkan pada figur-figur yang seharusnya mewakili mereka di Senayan dan Banda Aceh, khususnya anggota DPR RI Dapil II dan DPRA Dapil VII yang meliputi Aceh Tamiang.
Absennya wajah dewan di hadapan penderitaan ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap mandat suci yang diberikan saat pemilu.
"Parah sekali," desis seorang korban yang matanya memancarkan kepedihan. "Mereka di pusat (DPR RI) dan provinsi (DPRA) hanya mewakilkan kursi, bukan hati. Kami hanya melihat para relawan dan donatur yang tulus, Bukan Wakil Kami Sendiri!"
Ironi ini memicu penilaian yang destruktif terhadap idealisme politik.
"Kalau begini terus, apa yang diharapkan dari wakil rakyat? Mereka hanya sibuk mementingkan partainya dan kantong pribadi! Rakyat hanya komoditas suara, bukan prioritas saat bencana!"
Kekecewaan kolektif ini mencapai puncaknya dengan putusan suram yang mengguncang fondasi kepercayaan demokrasi lokal: "Tidak ada lagi harapan bagi rakyat untuk mewakilkan para dewan, mau di pusat maupun di provinsi Aceh. Kami ditinggalkan!"
