News Update

EDITORIAL: Kekayaan Sawit yang Ditopang Lumpur, Air Mata, dan Hutan yang Hilang

 

Sumber: Net


Mari kita bicara jujur dan kalau ada yang tersinggung, itu tanda bahwa kata-kata ini tepat sasaran.

Setiap musim hujan, warga desa bergulat dengan banjir bandang, rumah-rumah terseret arus, sawah hilang ditelan lumpur, dan pemerintah pura-pura sibuk memasang spanduk “Tanggap Bencana”. Sementara itu, para pemain besar industri sawit memilih diam seperti tak mendengar jeritan korban. Atau kalau pun bersuara, nada mereka selalu sama: defensif, apologi murah, dan kalimat klise “kami juga menjadi korban”.

Korban?
Maaf, publik sudah terlalu cerdas untuk tertipu narasi seperti itu.

Bagaimana mungkin para pemilik modal raksasa yang perusahaannya mencaplok ribuan hingga jutaan hektare lahan bisa menyebut diri sebagai korban? Di tengah penderitaan masyarakat, grafik kekayaan mereka justru terus naik seperti grafik harga emas. Infografis yang beredar yang hanya mencatat sebagian kecil dari para raksasa bisnis sawit menjadi pengingat bahwa industri ini bukan sekadar usaha besar, tetapi kerajaan bisnis yang menghasilkan kekayaan tak terbayangkan.

Dan ironisnya, kekayaan itu menetes dari apa?
Dari hutan yang hilang.
Dari tanah yang tidak lagi bisa menyerap air.
Dari ekosistem yang porak-poranda.
Dari sungai yang tak lagi jernih.
Dari banjir yang menghantam rumah-rumah rakyat kecil.

Namun ketika publik menuntut tanggung jawab, mereka menghilang seperti kabut pagi.

Di negeri ini, jalan menuju kekayaan besar sering kali bukan lewat inovasi, bukan lewat terobosan teknologi, bukan pula lewat keberlanjutan yang sesungguhnya. Jalan tercepat untuk menjadi kaya raya justru melibatkan eksploitasi tanpa batas, entah itu eksploitasi alam atau eksploitasi manusia. Dan para konglomerat sawit, dengan segala kekuasaan finansial mereka, adalah saksi hidup dari kebenaran pahit tersebut.

Sementara itu, aturan ditegakkan setengah hati, pengawasan seperti formalitas, dan laporan keberlanjutan hanya sebatas brosur manis yang tidak pernah menyentuh realitas lapangan. Publik hanya diminta percaya bahwa perusahaan-perusahaan ini bertanggung jawab, padahal yang terjadi adalah sebaliknya: tanggung jawab lingkungan menjadi nomor kesekian, jauh di bawah laba yang harus terus tumbuh setiap tahun.

Kini, setelah banjir besar kembali melanda, setelah desa-desa kembali tenggelam, pantaslah kita bertanya:
Berapa banyak lagi hutan yang harus hilang demi menambah nol di rekening mereka?
Berapa banyak lagi nyawa harus menjadi statistik sebelum mereka berhenti pura-pura suci?

Editorial ini tidak sedang mencari musuh. Editorial ini sedang mencari akal sehat.
Sebab, jika para konglomerat sawit terus menutup mata dan telinga, sementara negara sibuk mencari kambing hitam lain, maka jangan heran jika publik akhirnya marah. Dan kemarahan publik adalah hal terakhir yang seharusnya diremehkan.

Satu hal yang pasti:
Kekayaan yang berdiri di atas kerusakan alam bukanlah kebanggaan, itu adalah aib.
Dan aib, sekuat apa pun ditutupi, baunya tetap muncul ke permukaan.

Tim Redaksi: Indonesia Media Center

 

Latest News
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Post a Comment