News Update

Morowali dan Fenomena “Negara dalam Negara”: Saatnya Negara Mengambil Kembali Kendali

 

Editorial:

Pimred IMC: Rachma Salihul Hadi



 

Pernyataan Menteri Pertahanan RI Sjafrie Sjamsoeddin tentang adanya fenomena “negara dalam negara” di Morowali adalah peringatan keras yang tidak boleh dianggap angin lalu. Morowali, yang selama ini dielu-elukan sebagai episentrum industri nikel dunia, justru memperlihatkan gejala di mana kekuatan non-negara, terutama korporasi asing tampil sebagai pengendali dominan atas ruang ekonomi dan sosial yang seharusnya berada dalam otoritas mutlak Republik Indonesia.

Indonesia patut bertanya: apakah negara masih memegang kendali penuh di wilayah itu?

Atau justru kekuasaan ekonomi yang mengakar telah membentuk struktur kekuasaan baru yang berjalan paralel, bahkan melampaui negara?

Ketika Kekuasaan Ekonomi Melampaui Negara

Morowali adalah simbol paradoks pembangunan. Investasi triliunan rupiah mengalir, kawasan industri tumbuh pesat, dan infrastruktur modern dibangun. Namun di balik itu, muncul struktur kekuasaan korporasi asing yang begitu kuat hingga menimbulkan kesan adanya yurisdiksi “ekslusif” dengan sistem keamanan sendiri, regulasi internal yang kerap lebih dominan daripada aturan negara, dan pengaruh besar terhadap tata kelola daerah.

Jika ini dibiarkan, Indonesia berisiko menghadapi erosi kedaulatan secara perlahan. Kehadiran negara menjadi administratif dan seremonial, bukan substantif. Bandara yang diresmikan mantan Presiden sebelumnya waktu itu: Infrastruktur untuk Siapa?

Bandara yang diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo menjadi contoh paling menarik dari paradoks ini. Infrastruktur itu tentu bernilai strategis bagi konektivitas industri. Namun publik berhak mempertanyakan:

Apakah bandara tersebut memperkuat negara?

Atau justru memperkuat dominasi kawasan industri yang dikontrol asing?

Apakah rakyat Morowali mendapat manfaat yang proporsional?

Ketika negara hadir hanya pada simbol-simbol seremonial, namun pengelolaan sehari-hari dipengaruhi kepentingan non-negara, maka tak heran Sjafrie menyebut situasi ini sebagai gejala “negara dalam negara”. Dan ini merupakan sinyal kekacauan tata kelola yang serius.

Kedaulatan Tidak Boleh Dikompromikan

IMC menegaskan bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh mengorbankan kedaulatan.

Investor penting, tetapi negara harus tetap menjadi pengendali tunggal. Morowali harus menjadi contoh bahwa Indonesia mampu mengelola sumber daya alam strategis tanpa menyerahkan kewenangan esensial kepada pihak mana pun.

Ada tiga langkah mendesak yang wajib dilakukan pemerintah:

1.      Memperkuat pengawasan lintas kementerian atas industri nikel dan kawasan industri Morowali.

2.      Menertibkan sistem keamanan internal perusahaan yang berpotensi melampaui kewenangan aparat negara.

3.      Menjamin keterbukaan dan akuntabilitas investasi asing, termasuk struktur kepemilikan, tenaga kerja, dan kepatuhan terhadap aturan nasional.

Ketegasan negara bukan hanya soal wibawa, tetapi soal masa depan kedaulatan ekonomi Indonesia.

Morowali adalah Cermin Masa Depan Indonesia

Apa yang terjadi di Morowali hari ini adalah gambaran bagaimana Indonesia mengelola kekayaan strategisnya. Jika negara kuat, maka industri akan menopang kemakmuran nasional. Namun jika negara lemah, maka industri justru dapat menciptakan wilayah-wilayah yang berada di luar kendali kedaulatan.

Fenomena “negara dalam negara” yang disorot Sjafrie Sjamsoeddin adalah alarm dini. Alarm bahwa ada sesuatu yang terlalu kuat, terlalu dominan, dan terlalu bebas di tanah yang seharusnya berada di bawah kendali penuh Republik Indonesia.

Saatnya negara hadir bukan hanya sebagai peresmian, tetapi sebagai pengendali.

Morowali tidak boleh menjadi anomali pembangunan; Morowali harus kembali menjadi bagian dari kedaulatan Indonesia yang utuh.

Tim : IMC/Rachma Salihul Hadi

Latest News
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Post a Comment