News Update

Dampak Nyata Pengurukan Laut, Ketika Kepentingan Bisnis Menenggelamkan Akal Sehat

 


Jakarta , IMC Indonesia - Belakangan ini, aktivitas pengurukan laut secara besar-besaran di sejumlah wilayah pesisir atas nama “pembangunan dan investasi” kembali menuai sorotan publik. Perusahaan-perusahaan besar, termasuk yang dikaitkan dengan sosok-sosok berpengaruh seperti Pak Pik dan lainnya, gencar melakukan reklamasi dan pengurukan laut untuk berbagai kepentingan komersial, mulai dari kawasan industri, pelabuhan, hingga hunian mewah. Namun di balik janji kemajuan ekonomi, tersimpan bencana ekologis yang mulai menampakkan wujudnya. Minggu (09/11/25)


Air laut kini semakin sering naik ke daratan, merendam pemukiman warga yang sebelumnya aman. Fenomena rob dan banjir pesisir tidak lagi bersifat musiman, melainkan menjadi ancaman rutin. Ironisnya, daerah yang dahulu menjadi sumber penghidupan nelayan kini berubah menjadi genangan yang menelan harapan banyak orang.


Secara ilmiah, pengurukan laut dalam skala besar mengganggu keseimbangan ekosistem pesisir. .Ketika garis pantai berubah dan sedimentasi alami terganggu, aliran air laut menjadi tidak stabil. Air yang seharusnya tertahan oleh ekosistem mangrove kini tidak lagi memiliki penghalang, sehingga dengan mudah menerobos ke daratan. Akibatnya, banjir pesisir semakin parah, kerugian ekonomi meningkat, dan kualitas hidup masyarakat menurun.


Dalam konteks tata kelola lingkungan, kegiatan reklamasi seharusnya melalui kajian mendalam, bukan hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dari aspek sosial dan ekologis. Sayangnya, proyek-proyek besar sering kali mendapatkan “karpet merah” tanpa pertimbangan lingkungan yang matang. Persetujuan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) seringkali hanya menjadi formalitas, bukan panduan moral dan ilmiah.


Lebih dari sekadar bencana alam, ini adalah bencana kebijakan. Ketika pemerintah terlalu mudah memberikan izin, ketika korporasi hanya memandang laut sebagai lahan kosong untuk digarap, dan ketika suara masyarakat kecil tak lagi didengar, maka air laut yang naik bukan sekadar fenomena alam, melainkan peringatan keras dari bumi yang terzalimi.


Pembangunan seharusnya berpihak pada keberlanjutan, bukan keserakahan. Laut bukanlah halaman belakang yang bisa ditimbun sesuka hati. Ia adalah ruang hidup bagi jutaan biota, penjaga keseimbangan iklim, dan benteng terakhir dari bencana pesisir.


Jika kita terus menutup mata atas nama investasi, maka kelak bukan hanya daratan yang tenggelam, tetapi juga nurani dan tanggung jawab moral kita sebagai manusia.


Oleh: Rachman Salihul Hadi 

Latest News
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Post a Comment