Surat Kedua Untuk Pak Prabowo: Terima kasih Sudah Mengembalikan Pulau Milik Aceh

Oleh: Teuku Iskandar Faisal

Dosen Poltekkes Kemenkes Aceh. 




Pembuka

Alhamdulillah, Bapak Presiden sudah memutuskan bahwa empat pulau di Aceh Singkil adalah milik Aceh. 

Berita tanggal 17 Juni 2025 tadi sungguh membuat hati rakyat Aceh gembira, keputusan yang bijak bapak ambil, menggambarkan kepedulian bapak untuk rakyat Aceh. 

Bayang - bayang konflik antara Aceh dan Jakarta telah sirna, seperti sirnanya mentari di ufuk barat seiring bulan purnama muncul di balik Gunung Seulawah. 

Semoga pada masa mendatang kepercayaan Rakyat Aceh kepada pemerintah pusat semakin meningkat. 

Sebagai instrospeksi kita bersama, tulisan ini hanya ingin menjadi pengingat bahwa sepanjang perjalanan sejarah Aceh, tidak dapat kita pungkiri ada ceceran darah orang Aceh membasahi negeri tercinta ini. 

Mulai dari perlawanan melawan Portugis, Belanda dan Jepang, serta beberapa tragedi lainnya seperti konflik ulama dan bangsawan Aceh, pemberontakan DI/TII, pembunuhan masal orang PKI serta dampak penanganan konflik pemerintah dengan GAM. 

Peperangan ke peperangan dan konflik ke konflik di Aceh telah membawa kerugian yang banyak, dampak kerusakan sangat luas. Korban jiwa yang tak terhitung, infrastruktur yang hancur, adat dan sosial budaya berantakan, kehidupan beragama terganggu, hubungan antar suku menjadi tidak harmonis. 

Oleh karenanya surat ini dapat menjadi pengingat bagi Bapak Prabowo selaku Presiden Republik Indonesia untuk berhati-hati dalam menyikapi permasalahan rakyat Aceh.

Berikutnya, tulisan di bawah ini, menggambarkan tragedi kemanusiaan di Aceh. 

Ceceran Darah Masa Melawan Belanda 

Perang Aceh menghabiskan waktu 100 tahun, mulai dari 1873 sampai dengan 1904 ketika Sultan Teuku Muhammad Daud Syah ditangkap Belanda, selanjutnya peperangan masih berlangsung secara sporadis sampai Jepang mengalahkan Belanda.

Korban jiwa dan harta tidak terhitung jumlahnya dan tidak tergantikan. Pada saat itu tokoh Aceh seperti Teuku Umar Cut Nyak Meutia dan Teungku Chik Ditiro meninggal dalam membela negaranya. 

Berikutnya, Teuku Muhammad Daud Syah sebagai Sultan Aceh terakhir dan Cut Nyak Dien ditangkap dan diasingkan keluar Aceh.

Perjuangan dan perlawanan rakyat Aceh menginspirasi kita sampai hari ini bahwa kemerdekaan harus diperjuangkan walaupun kematian di depan mata. Begitulah orang Aceh membela negaranya.

Ceceran Darah Masa Melawan Jepang

Setelah Jepang menduduki Aceh tahun 1942, perlawanan rakyat Aceh tidak pernah berhenti.  Menurut catatan sejarah,  dikenal Perang Bayu, yang dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil dan terjadi pada November 1942 di Cot Plieng, Lhokseumawe, beliau gugur dalam pertempuran pada 10 November 1942, namun perlawanan terus berlanjut di berbagai daerah lain di Aceh.

Peperangan dan perlawanan rakyat Aceh di masa Jepang juga menimbulkan korban jiwa dan harta. 

Tetesan darah para pejuang dan rakyat Aceh kembali membasahi bumi tercinta ini dalam rangka memperjuangkan ke kemerdekaannya.

Ceceran Darah Masa Peperangan antara Ulama dengan Bangsawan

Setelah kekalahan Jepang dan Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta, rakyat Aceh menyambut gembira. 

Namun tanpa diduga terjadi kesalahpahaman antara kaum ulama dan bangsawan, akhirnya memicu perang saudara, yang dikenal sebagai Perang Cumbok, perang berlangsung pada akhir tahun 1945 hingga awal 1946. 

Konflik ini walaupun hanya terjadi di Kabupaten Pidie, namun  korban meninggal mencapai ribuan dari kedua belah pihak yang notabenenya adalah orang Aceh. Ceceran darah kembali membasahi bumi Serambi Mekah di awal kemerdekaan Republik Indonesia. 

Ceceran Darah Saat Pemberontakan DI/TII

Ternyata darah orang Aceh masih terus membasahi bumi, saat itu melalui Pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di Aceh yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh, seorang tokoh agama dan militer yang mendukung kemerdekaan Republik Indonesia dan tokoh yang berperan penting sehingga Aceh bergabung dengan Indonesia.

Pemberontakan ini terjadi pada tahun 1953 karena kekecewaan orang Aceh terhadap kebijakan Soekarno yang menjadikan Aceh bagian dari Provinsi Sumatera Utara. 

Darah orang Aceh kembali membasahi Negeri para Aulia, diperkirakan puluhan ribu orang tewas saat itu, termasuk warga sipil dan tentara. Konflik ini dapat diselesaikan dengan cara damai.

Ceceran Darah Pada Saat Penanganan Pemberontakan G30S PKI

Kisah penanganan orang yang terlibat PKI di Aceh pada bulan Oktober dan November 1965 juga menyisakan cerita tragis dan mengerikan.

Kelompok massa anti PKI, menangkap dan membunuh orang yang terlibat atau pun yang dicurigai terlibat PKI.

Darah kembali tumpah di bumi Serambi Mekah, dalam waktu 1 bulan hampir 2000 orang meregang nyawa.

Tragedi ini menjadikan bumi Aceh dibanjiri darah kembali. 

Ceceran Darah Akibat Pemberontakan GAM

Tragedi dan kisah sedih belum berakhir di Aceh. Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976, yang bertujuan untuk memisahkan Aceh dari NKRI. 

Pemberontakan ini dipimpin oleh Hasan di Tiro dan berlangsung dari tahun 1976 hingga 2005, dengan berbagai fase dan eskalasi konflik. Lebih kurang 29 tahun konflik ini melanda Aceh, korban jiwa baik rakyat sipil, GAM, tentara dan polisi tak terhitung jumlahnya. 

Selain korban jiwa peperangan yang panjang ini juga merusak kehidupan sosial budaya, spiritual dan ekonomi. Sendi-sendi kehidupan rakyat terganggu,  adat dan budaya Aceh yang mulia berubah dari positif menjadi negatif. 

Gempa bumi yang dahsyat diikuti tsunami pada tahun 2004 menjadi penutup dari kisah pahit rakyat Aceh.

Presiden SBY dan Pak JK memainkan peran yang penting sehingga perdamaian Helsinki sebagai tanda berakhirnya Perang di Aceh. 

Penutup 

Patut kita bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya sehingga konflik empat pulau di Kabupaten Singkil Provinsi Aceh telah selesai. 

Kita berharap ketulusan dan kepercayaan rakyat Aceh kepada pemerintah pusat makin meningkat serta dapat dijaga dan dipupuk bersama, sehingga tidak ada lagi ceceran darah rakyat Aceh dimasa mendatang. Rakyat Aceh akan hidup damai dalam bingkai NKRI.

Sekali lagi kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Prabowo Subianto atas atensinya, semoga Aceh selalu dapat membersamai Indonesia. 


 *Langsa, 17 Juni 2025*

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال