Refleksi atas Redupnya Demokrasi Penyiaran di Indonesia

 





Jakarta, IMC-  Undang-Undang Penyiaran 2022 genap berusia 20 tahun. Kendati demikian, sepi dari hingar bingar perayaan yang dilakukan oleh para pelaku penyiaran maupun pemangku kepentingan utama seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo).


Hanya elemen kecil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Penyiaran Demokratis (KMSPPD) yang memperingatinya dengan semangat bantingan atau volunteerism. 


Dalam rilis yang diterima media ini, Sabtu ( 31/12/2022) mereka menggelar acara sejak bulan Juli sampai dengan November 2022 dalam bentuk diskusi publik sebanyak lima kali bekerja sama dengan Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jaringan Radio Komunitas Indonesia, Yayasan Sejiwa, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).



Puncak peringatan dilakukan pada tanggal 28 Desember 2022 bertempat di Studio I RRI Yogyakarta. 


Adapun rangkaian acara pada puncak peringatan terdiri dari Napak Tilas Situs Penyiaran Bersejarah di Kota Yogyakarta, soft launching Buku Refleksi 20 Tahun UU Penyiaran, soft launching Buku Redupnya Demokratisasi Penyiaran : Refleksi 20 Tahun UU Penyiaran No. 32/2002, dan Diskusi yang terbagi dalam dua sesi. 


Sesi pertama dengan topik “Pelaksanaan UU Penyiaran, Janji yang Terkorupsi oleh Investasi,” menampilkan pembicara Prof. Hermin Indah Wahyuni (UGM), Nina Mutmainah (UI), Prof. Eni Maryani (UNPAD), Lestari Nurhajati (Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR), Mario Antonius Birowo (UAJY), dan Bayu Wardhana (AJI Indonesia) dengan moderator Diana Anggraeni (Universitas Pancasila Jakarta). 


Kemudian pada sesi kedua mengangkat topik, “UU Penyiaran Darurat Diselamatkan: Publik Harus Apa,”  dengan narasumber Masduki (UII), Lintang Ratri (UNDIP), Imam Prakoso (Radar Tangguh), Darmanto (Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik), dan Puji Rianto (UII) dengan moderator Ni Made Ras Amanda dari Universitas Udayana. 


Pada sesi pertama, para pembicara melihat UU Penyiaran No.32 Tahun 2002 adalah undang-undang yang demokratis,  yang diwarnai semangat reformasi. 


Undang-undang tersebut memberi pengakuan terhadap Lembaga Penyiaran Publik dan Lembaga Penyiaran Komunitas, selain pengarusutamaan independensi, keberagaman kepemilikan dan keberagaman konten termasuk penguatan inklusivitas, muatan lokal serta perlindungan anak,  sebagai dasar penyelenggaraan penyiaran. 


Namun demikian, 20 Tahun pelaksanaannya justru banyak upaya mendeligitimasi nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam undang-undang tersebut. Sebagi contoh, pengakuan terhadap Lembaga Penyiaran Komunitas di dalam UU Penyiaran tidak serta merta memuluskan kehadiran radio komunitas di masyarakat. 


Diskusi juga mengajak masyarakat sipil untuk mendorong revisi UU Penyiaran, namun hasil diskusi mengingatkan perlunya mengkaji ulang dasar perjuangan demokratisasi penyiaran yang menjadi argumentasi, hal ini karena dengan adanya perkembangan teknologi dimana penyiaran dapat menggunakan platform digital, yang tidak lagi menggunakan sumber daya terbatas seperti halnya frekuensi. 

Maka yang harus menjadi dasar perjuangan demokrasi penyiaran adalah melindungi public good. Merujuk Francis Bacon, public good berarti publik berhak mendapatkan pengetahuan yang baik, dimana salah satu sumber pengetahuan adalah dari media penyiaran. 


Diskusi juga menggarisbawahi perlunya membuka kesadaran palsu masyarakat penonton, bahwa tontonan yang selama ini hadir bermasalah, bahwa mendapatkan tontonan yang berkualitas dan inklusif adalah hak publik. Maka memperjuangkan demokrasi penyiaran harus terus dilakukan, pantang padam sebelum sampai tujuan.


Seusai diskusi, pada malam harinya dilakukan Orasi Media oleh Ketua Pansus RUU Penyiaran tahun 2002 Paulus Widiyanto. 


Paulus menyampaikan konteks sejarah serta dinamika lahirnya UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002. 

Lebih lanjut, menurutnya dengan lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja posisi UU Penyiaran berada di persimpangan jalan, antara jalan yang menuju pada kecermelangan atau sebaliknya menuju jalan yang temaram. UU Cipta Kerja telah memuluskan jalan bagi kepentingan ekonomi dan politik dengan konsekuensi matinya demokrasi penyiaran. 


“Namun, kita tetap harus optimis bahwa masih ada harapan terbukanya jalan menuju kecemerlangan kalau kita mampu memanfaatkan lembaga penyiaran menjadi institusi sosial budaya,” tegas Widiyanto. 


Pada akhir acara, dibacakan Pernyataan Sikap 20 Tahun Undang Undang Penyiaran. KMSPPD terdiri dari akademisi dari berbagai Perguruan Tinggi di Jawa dan Bali, seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Al Azhar Indonesia,  Universitas Pancasila,  Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR,  Universitas Pajajaran (UNPAD), Universitas Diponegoro (UNDIP), UGM,  UAJY, UMY, UII, Universitas Respati Yogyakarta, UPN Yogyakarta, dan Universitas Udayana, Bali. Selain akademi, banyak juga kalangan aktivis yang peduli pada isu penyiaran seperti Perkumpulan PR2Media (Pemantau Regulasi dan Regulator Media),  Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RPLPP), Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI), Koalisi Nasional untuk Reformasi Penyiaran (KNRP), AJI (Aliansi Jurnalis Independen), Japelidi (Jaringan Pegiat Literasi Digital), Perkumpulan Masyarakat Peduli Media (MPM), Konde.com, Radar Tangguh, dan CRI. ( Muzer/ Rsh/Rls )


Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال