Jakarta, IMC - Terdakwa Basuki Tjahja Purnama alias
Ahok oleh Majelis Hakim dinyatakan terbukti bersalah melanggar pasal 156A KUHP,
oleh karenanya menjatuhi pidana penjara 2 tahun dengan perintah ditahan. Disisi
lain, dalam surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum menuntut Basuki Tjahja Purnama
alias Ahok 1 tahun penjara dengan hukuman percobaan 2 tahun.
Sebelumnya
Jaksa Penuntut Umum mendakwa Basuki Tjahja Purnama alias Ahok dengan dakwaan
alternatif yakni pasal 156A KUHP atau pasal 156 KUHP. Dalam surat tuntutan,
Jaksa menganggap Ahok terbukti melanggar pasal 156 KUHP, Majelis Hakim
menganggap Ahok terbukti melanggar pasal 156A KUHP.
Setelah Jaksa
membacakan tuntutan, Majelis Hakim tentu melakukan musyarawah Majelis Hakim
sesuai ketentuan pasal 182 ayat (4) KUHAP, Majelis Hakim bermusyawarah dalam
membuat putusan, dengan memperhatikan 2 (dua) hal yakni : Surat Dakwaan dari
Jaksa Penuntut Umum dan segala yang terbukti dalam pemeriksaan di persidangan.
Karena Ahok
diputus bersalah, maka Ahok menyatakan banding atas putusan tersebut dan kubu
Ahok memprotes putusan hakim dengan menggelar aksi unjuk rasa di LP Cinang dan
Mako Brimob hingga dini hari tanggal 9 dan 10 Mei 2017, bagi kubu Ahok Majelis
Hakim tidak adil karena menjatuhi putusan melampaui apa yang dituntut Jaksa
Penuntut Umum. Padahal pasal 156A KUHP yang dianggap terbukti oleh majelis
hakim adalah pasal yang didakwakan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Bagi kubu Ahok, putusan diluar tuntutan Jaksa itu tergolong Ultra Petita.
Ultra Petita
Putusan Ultra
Petita hanya dikenal dalam lingkup hukum acara perdata. Dalam hukum pidana
tidak ada norma hukum yang mengatur tentang Ultra Petita atau putusan yang
melebihi apa yang dituntut Jaksa Penuntut Umum.
Dalam hukum
perdata, Ultra Petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR dan pasal 189
ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang
dituntut (petitum) yang diajukan para pihak yang berperkara di Pengadilan.
Putusan yang
sifatnya Ultra Petita dalam hukum perdata dianggap sebagai tindakan yang
melampaui kewenangan lantaran hakim memutus tidak sesuai dengan apa yang
dimohon para pihak (petitum). Putusan yang melampaui batas yang dituntut, tidak
dapat dibenarkan dalam koridor hukum acara perdata. Hakim hanya menimbang
hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum (petitum) yang didasarkan
kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur).
Hakim yang
melakukan ultra petita dalam perkara perdata dianggap melampaui wewenang atau
ultra vires. Putusan tersebut dinyatakan cacat meskipun putusan tersebut
dilandasi itikad baik maupun telah sesuai kepentingan umum. Jika hakim
melanggar prinsip Ultra Petita dalam perkara perdata maka sama dengan
pelanggaran terhadap prinsip rule of law.
Olehnya,
tidaklah argumetatif dan tidak berdasar hukum jika kubu Ahok berdalil putusan
hakim tersebut adalah Ultra Petita. Dalam hukum pidana, belum ada norma hukum
yang mengatur dan membatasi putusan hakim sesuai dengan apa yang dituntut Jaksa
Penuntut Umum. Olehnya kubu Ahok yang memprotes putusan majelis hakim pada Ahok
hanya berdasar pandangan, argumentasi serta menurut logika sendiri, yang belum
ada dasar hukumnya.
Penahanan Ahok
Penahanan Ahok
menurut majelis hakim sesuai ketentuan Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP yang
menyebutkan; Surat putusan pemidaan memuat, huruf k : “Perintah supaya terdakwa
ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”.
Pasal 197 ayat (2) KUHAP menyebutkan : “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf, a, b, c, d, e, f, g, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan tersebut batal demi hukum”.
Pasal 197 ayat (2) KUHAP menyebutkan : “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf, a, b, c, d, e, f, g, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan tersebut batal demi hukum”.
Dalam putusan
MK Nomor : 69/PUU-X/2012, MK menyatakan tafsir atas Pasal 197 ayat 2 huruf k
yaitu : "Pasal 197 ayat (2) huruf 'k' bertentangan dengan UUD 1945 apabila
diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat
(1) huruf k KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum".
Karena putusan
sudah dijatuhkan maka Jaksa wajib mengeksekusi putusan pengadilan dengan
menjalankan perintah pengadilan. Pasal 197 ayat (2) KUHAP telah terang
benderang, tidak perlu ditafsir-tafsir.
Jika terdakwa
menggunakan haknya untuk mengajukan penangguhan penahanan, maka kewenangan
apakah ditangguhkan atau tidak menjadi kewenangan majelis hakim banding.
Permohonan penangguhan penahanan akan dipertimbangkan Majelis Hakim Banding
jika berkas perkara telah diregistrasi, sudah ditetapkan majelis hakim banding
yang menangani. Majelis Hakim Banding yang akan memutuskan apakah terdakwa
ditangguhkan penahanan atau tidak.
Selain itu,
pertimbangan hakim juga merujuk pada ketentuan pasal 193 ayat (1) dan ayat (2)
huruf a dan b KUHAP. Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyatakan : “Jika pengadilan
berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.
Pasal 193 ayat
(2) huruf a menyebutkan : “Pengadilan dalam menjatuhkan putusan jika terdakwa
tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa ditahan, apabila dipenuhi
ketentuan pasal 21 dan terdapat alasan yang cukup”.
Huruf b :
“Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat
menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya apabila
terdapat alasan yang cukup untuk itu”.
Pasal 21 ayat
(1) KUHAP : seseorang ditahan karena kwatir melarikan diri, menghilangkan
barang bukti, dan mengulangi tindak pidana. Ayat (4) : tindak pidananya diancam
dengan penjara 5 (lima) tahun.
Olehnya
penahanan pada Ahok atas perintah majelis hakim pada tingkat pertama adalah
sah. Negara melalui Jaksa bertanggungjawab atas penahanan Ahok, sepanjang tidak
ada perintah pengadilan untuk mengeluarkan Ahok, sepanjang itu juga kewajiban
Jaksa menjaganya. Sedang Mentri Hukum dan HAM bertanggungjawab atas keselamatan
terdakwa selama dalam penjara, menjaga keselamatan terdakwa maupun menjaga agar
terdakwa tidak kabur, lari atau keluar dari lembaga pemasyarakatan.
Terkait
permohonan penangguhan penahanan, lazimnya faktor-faktor non hukum menjadi
salah satu pertimbangan hakim, misalnya demo kubu Ahok di LP Cipinang dan Mako
Brimob tempat Ahok ditahan dengan menghujat hakim, menyandra pegawai pengadilan
tinggi, tidak menerima putusan pengadilan yang dilancarkan, dll akan menjadi
catatan majelis hakim banding dalam memutuskan apakah terdakwa ditangguhkan
penahanan menjadi tahanan kota atau jenis tahanan lain sesuai Undang-undang.
Putusan Hakim
Putusan hakim
dalam perkara Ahok sah dan tidak bertentangan dengan hukum, oleh karenanya
Jaksa mewakili Negara berdasar UU wajib melakukan eksekusi terhadap putusan
pengadilan yakni menahan terdakwa sesuai perintah KUHAP dan semua pihak
menghormati putusan tersebut sebelum ada pengadilan yang lebih tinggi
membatalkan putusan tersebut.
Meminjam apa
yang dikatakan Willem Zevenbergen dengan apa yang disebut contra legem ialah
hakim menjatuhkan putusan bukan hanya karena seseorang karena perbuatannya
bertentangan dengan hukum tetapi perbuatannya itu berlawanan dengan nilai-nilai
yang dianut oleh pimpinan masyarakat.
Louis L Jaffe
mengatakan : The great judge was great because when the occasion cried
out for new law he dares to make it.
Hakim yang
besar adalah besar, karena manakala keadaan dan peristiwa menjerit-jerit
meminta hukum yang baru, maka Hakim itu berani membuat dan menciptanya.
“He was great
because he was aware that the law is a living organism, its vitality depended
upon renewal”.
Dia (hakim)
adalah besar, karena hakim itu yakin dan sadar bahwa hukum itu adalah suatu
susunan/organisme yang hidup, yang daya ketahanan dan kegunaannya tergantung
pada pembaharuan dan penyempurnaan.
G.W. Paton “A
Text Book of Jurisprudence” mengatakan :
“We desire an
impartial Judge, but the law itself cannot be impartial (in one sense) for its
very raison d’etre is to prefer one social interest to another”.
Kita
benar-benar menginginkan Hakim yang tidak memihak, akan tetapi hukum itu
sendiri tidak dapat tidak memihak (dalam makna tertentu), sebab hakekat
kehadirannya justru adalah memilih lebihkan suatu kepentingan sosial tertentu
di atas kepentingan sosial sedemikian yang lain”.
Sebagai
representasi dari pelaksana kekuasaan kehakiman, hakim diberikan mandat oleh
Undang-Undang untuk menyelesaikan segala permasalahan hukum yang dihadapkan
kepadanya.
Dalam
melaksanakan fungsi kekuasaan kehakimannya, lembaga peradilan dituntut untuk
independen baik secara institusional maupun secara personal (Hakim) terbebas
dari segala intervensi hingga dapat memutus perkara hukum yang dihadapkan
kepadanya dengan adil dan tidak berpihak (imparsial).
Kebebasan
Hakim dalam memutus perkara ini merupakan salah satu unsur utama dari suatu
Negara hukum, dapat dikatakan bahwa bilamana kebebasan Hakim atau independensi
kekuasaan kehakiman tidak dapat diwujudkan maka sangat mustahil Negara hukum
dapat berdiri dengan tegak dan sempurna. Dengan demikian independensi kekuasaan
kehakiman adalah sebuah keniscayaan bagi berdirinya Negara hukum Indonesia.
Kebebasan hakim atau independensi kekuasaan kehakiman secara tegas mempunyai
payung hukum yang kuat baik dalam konstitusi maupun peraturan
perundang-undangan.
Seorang hakim
dalam mengadili perkara adalah juga bertindak selaku pembentuk hukum dalam
menyelesaikan suatu perkara yang terjadi. Dengan kata lain, hakim harus
menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang kongkret dalam masyarakat, oleh
karena peraturan-peraturan tidak dapat mencakup segala peristiwa hukum yang
timbul dalam masyarakat sesuai perkembangan yang terjadi.
Oleh karena
hakim turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan yang tidak, maka
Paul Scolten mengatakan bahwa hakim itu menjalankan rechsvinding (turut serta
menemukan hukum). Meskipun hakim sebagai penemu hukum, tapi kedudukan hakim
bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legislative (pembentuk UU), karena
keputusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan
umum. Keputusan hakim hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang diperiksa.
Keputusan hakim juga diakui sebagai sumber hukum formal. Oleh karena itu hakim
juga diakui sebagai sumber hukum faktor pembentuk hukum.
Dengan
demikian, maka putusan hakim tersebut adalah sah, patut untuk diikuti. Ruang
yang diberikan oleh Undang-undang adalah melakukan upaya hukum berupa banding
dan kasasi juga mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Hak-hak terdakwa
itu diatur dalam Undang-undang.
Sedangkan
terdakwa selama masih dalam tahanan Lembaga Pemasyarakat (LP), maka sebagian
hak-haknya dibatasi atau dikurangi, sama halnya para terdakwa lain yang telah
lebih dulu menghuni lembaga yang disiapkan Negara tersebut.
Diharapkan
setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan (LP) terjadi perubahan sikap,
perilaku dan perbuatan. Karena selama di lembaga pemasyarakatan (LP) yang
dilakukan adalah pembinaan-pembinaan baik mental dan perubahan sikap atau
setidaknya tidak mengulangi perbuatan tersebut. Semoga.# (red)