Nias, IMC - Merasa tidak
terima karena tidak kebagian susu untuk ibu hamil, istri mantan kepala desa dan
suaminya melakukan penganiayaan terhadap sepasang suami istri di desa Loloana'a
Gido, Kecamatan Gido, Kabupaten Nias, 23 Januari 2017 lalu.
Sebagaimana telah diberitakan
sebelumnya, bahwasanya tindakan penganiayaan tersebut dipicu oleh tindakan
istri mantan kepala desa yang marah-marah lantaran tidak terdaftar sebagai
bagian dari penerima susu yang dibagikan oleh Yaniwati Zandroto (44) selaku
ketua posyandu setempat yang bertindak sebagai petugas saat itu.
Susu yang dibagikan khusus
diberikan kepada ibu hamil yang telah terdaftar sebelumnya. Yaniwati Zandroto
(44) menolak untuk memberikan susu kepada istri mantan kepada desa tersebut
karena tidak terdaftar.
Merasa tidak terima, akhirnya
istri mantan kades tersebut marah-marah sehingga berlanjut terjadi tindakan pengaiayaan
terhadap Yaniwati Zandroto (44) dan Taugoli Waruwu (45) yang diduga dilakukan
oleh FW mantan kepala desa bersama enam
orang lainnya yang mengakibatkan korban luka patah batang hidung.
Kejadian tersebut telah
dilaporkan oleh korban kepada pihak kepolisian Sektor Gido dengan bukti surat
tanda penerimaan laporan No : STPLP/09/I/2017/NS-Gido. Sampai dengan saat ini,
belum dilakukan tindakan yang cukup berarti oleh pihak kepolisian, sejak laporan
tersebut disampaikan di mapolsek Gido, pelaku masih belum diproses hukumnya dengan maksimal.
Menanggapi kasus ini, Ketua Umum
Dewan Pengurus Nasional Persatuan Pewarta Warga Indonesia (DPN-PPWI )
Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA. berharap agar seluruh aparat kepolisian dapat
menjalankan Tugasnya sebagai Pengayom, Pelayan, Pelindung dan Penolong Warga
Masyarakat
“Oleh karena itu, terkait
penganiayaan Suami-Istri yang terjadi di Nias itu, para polisi dari Polsek dan
Polres Nias harus memproses kasus tersebut sesegera mungkin, menangkap para
pelaku dan menanganinya sesuai ketentuan hukum yang berlaku di NKRI ini,” Ujar Wilson yang juga Dewan Penasehat Media
IndonesiaMediaCenter.com serta telah menyelesaikan pendidikan masternya di Inggris
dan Swedia itu.
Alumni PPRA - 48 Lemhannas RI
Tahun 2012 yang juga sebagai Ketua Umum PPWI serta penasehat puluhan media
massa cetak maupun online di Indonesia menambahkan, seragam polisi yang dibeli
dari uang rakyat seharusnya digunakan untuk melayani, melindugi, dan mengayomi rakyat
dengan menegakkan hukum yang berlaku sesuai undang-undang. Jika tidak dapat
memngemban amanah sebagai penegak hukum, lebih baik tanggalkan seragam dan ganti
dengan baju petani seperti layaknya petani di kampung.
“Jika Polisi tidak mampu
melaksanakan tugasnya, sebaiknya meninggalkan seragam polisi, yang dibelikan
oleh rakyat, dan pulang kampung bertani di sana,” tegas Wilson yang merupakan
Trainer Jurnalistik bagi ribuan anggota TNI, POLRI, Mahasiswa, Guru, Wartawan
dan berbagai Kalangan lain. (Zebua)
Penulis : Arozatulo Zebua
Editor : Redaksi