Back To Besic Of The Culture (Kembali Ke Akar Budaya: Sebuah Keresahan Di Era Milenial)





Oleh: Chois Ochho)*



Era milenial telah menghipnotisasi anak-anak bangsa. Hilangnya rasa afeksi dalam pribadi individu manusia muda, telah meminggirkan posisi budaya untuk dipelajari dan merealisasikannya. Ritus-ritus serta tradisi-tradisi kebudayaan hanya tersisa histori saja. Kultur budaya yang bersejarah seolah dongeng yang hanya dilegendakan. Banyak orang hanya menyukai bahkan berjuang sejauh dapat untuk belajar kehidupan dunia moderen tanpa menoleh ke belakang untuk belajar kembali kebudayaannya sendiri. Lambat laun tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang dahulu semakin hilang bahkan ada yang sudah punah. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang memiliki 714 suku yang masing-masing memiliki keberagaman kebudayaan yang patut diberi apresiasi.

Pesan presiden Afganistan kepada presiden Indonesia ketika itu, pak Jokowi mengadakan kunjungan. Beliau mengatakan, “hati-hati pak Jokowi, negaramu itu adalah negara yang beasar 714 suku itu adalah negara yang sangat besar. Kami hanya 7 suku saja, sedangkan di nergaramu terdapat 714 suku jadi jangan main-main dengan negaramu di zaman milenial ini”. Dari sekian suku ini salah satu contoh nyatnya di Ambon. Ambon sesungguhnya memiliki suatu kebudyaan yang sangat khas dan dikenal di mata dunia luas  namanya “Indung” atau “School Culture” yang patut diberi sportifitas tetapi, budaya ini sudah hilang atau punah. Ini dilaporkan oleh seorang etnomusikolog dari eropa namanya Yakhuns ketika ia berkunjung ke Ambon. Budaya yang semestinya dilestarikan dengan merealisasikannya secara nyata agar tidak hilang, telah menjadi makna ambigu. Dalam arti bahwa, di lain sisi kebudyaan hanya sebatas argumentasi dalam diskusi dari telinga ke telinga

Degradasi budaya yang disebabkan dua sisi: Lemahnya kerjasama antara orang tua (tokoh-tokoh masyarakat) dan pemerintah. 

Dalam konteks kehidupan nyata kedua komponen ini telah melenggangkan sikap acuh-tak acuh dari anak-anak muda yang terus digerus oleh perkembangan teknologi moderen yang semakin memuncak. Kebudayaan menjadi hilang nilai eksotisnya. Spirit sekaligus dukungan terhadap generasi muda agar tetap percaya diri dan memiliki keberanian memungut kembali puing-puing kebudayaan yang dibiarkan mubazir hampir seabat tidak ada sama sekali. Pihak pemerintah (pariwisata) hanya sibuk mementingkan kepentingan pribadi tanpa melihat situasi disekitarnya yaitu “bonum komune”. Bentuk pembiaran yang begitu panjang serta tidak membangun komitmen di atas paradigma berpikir, bagaimana prospek kedepannya nanti. Budaya sesungguhnya sebagai perekat keberagaman dan bagian yang integral dengan kehidupan manusia yang mampu mengembangkan integritas diri telah mati ditantang dunia yang serba instan. Minimnya kreatifitas antara orang tua dan pemerintah merupakan kesalahan terbesar. Berbagai bentuk kegiatan atau perlombaan yang berkaitan dengan kebudayaan untuk memantik semangat anak-anak muda tidak pernah dilaksanakan atau jika dilaksanakan ketika mendapat event yang menguntungkan. Jika kita berpikir secara filosofis, memang lomba bukanlah jalan satu-satunya yang paling tepat untuk sebuah peristiwa budaya tetapi, yang paling inti adalah di sana akan terdapat ruang ekspresi dan silaturahmi, revitalisasi nilai, pemungutan kohesivitas dalam kelompok masyarakat terkhusus anak-anak muda.

Sumber daya manusia yang terbatas menjadi batu sandungan untuk diinjak-injak oleh anak-anaknya sendiri. Siakap “inde spirit” sesungguhnya membantu kaum muda untuk mencari terobosan-terobosan baru dari permasalahan yang dihadapi sebagai bentuk tanggungjawabanya tidak diberi motifasi. Tendensi pembiaran yang berkepanjangan akan menjadi habitus yang tak dapat diperbendungkan lagi. Dengan ini orang tua dan pemerintah sebagai lokus untuk menenun pribadi anak-anak muda yang berbudi pekerti patut kita pertanyakan. Sampai kapan kita terus membiarkan masalah ini membengkak dan memberikan dampak buruk bagai bangsa dan negara. Di sini ditawarkan sikap tegas dan kesadaran komitmen yang sudah dininabobokan sikap pembiaran (budaya adil membangun budaya baru). Maka dengan ini orang tua dan pemerintah harus menata ulang mentalitas anak-anak muda artinya kedua instrument ini perlu mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk menuju suatu orientasi kebiasaan yang baik. Menurut Aristoteles kita adalah apa yang kita kerjakan berulang-ulang. Karena itu, keunggulan bukanlah suatu perbuatan, melainkan suatu kebiasaan. Bila kedua komponen ini ingin budaya tetap dipertahankan nilai-nilai luhurnya maka dilakukan secara berulang-ulang selain dalam bentuk dongeng dan yang perlu diperhatikan adalah direalisasikan, termasuk memberikan sikap yang positif terhadap situasi apapun yang dihadapi.

Mental anak-anak muda.

Pengaruh dunia eropa yang mengandalkan rasionalitas tanpa memedulikan akal budi telah mewabah di tengah masyarakat timur pada umumnya dalam berbagai aspek kehidupan. Ini sebagian besar adalah anak-anak mudah. Kesadaran anak-anak muda untuk menggali dan mencari tahu mengenai nilai luhur dari kebudayan telah dimejikisasi oleh teknologi modern. Menelisik lebih jauh dalam konteks masyarakat lokal terlebih khusus masyarakat Flores, sebahagian nilai dan praktek kebudayaan sudah punah, misalkan budaya yang dimiliki masyarakat Maumere yaitu buadya yang disebut dengan “sako seng” ini sudah tidak ada lagi yang tersisa hanyalah cerita ditelinga saja. Flores juga sebagai “the singing society” yang hampir semua kegiatan berkaitan dengan kebudayaan, di mana orang-orang mengawalinya dengan sebuah nyanyian dan memainkan beberapa alat-alat musik tradisonal menjadi mubazir. Mereka merasa malu untuk menyanyikan lagu-lagu daerah mereka sendiri. Bisa jadi dengan membangun sebuah sikap skeptis, bahwa belajar kebudayaan adalah salah satu bentuk ketinggalan zaman atau dianggap kolot dan kampungan. Anak-anak muda lebih suka menyanyikan lagu-lagu rege, lagu-lagu rep, dan agu-lagu dg ketimbang lagu-lagu tradisonal.

Dalam diskusi budaya dengan pater Simon Suban Tukan dan Ivan Nestroman, kedua beliau terlebih Ivan Nestroman mengatakan bahwa, di Flores Timur pada tahun 1950-an banyak anak-anak muda dan orang tua bisa menyanyi sebuah lagu yang hanya memiliki dua nada antara nada “do” dan ”di” sambil memainkan alat musik, tetapi hanya terjadi pada zaman itu. Sekarang sudah punah ditelan moderenitas, syair-syair lagu hilang tersisa alat musik tetapi, itu pun sudah dibawa kembali ke Belanda oleh orang-orang Belanda. Banyak anak-anak muda lebih suka memainkan dan menyanyikan lagu-lagu yang populer sesuai perkembangan dunia dengan gaya musik-musik yang diaransemen oleh alat-alat musik yang lebih moderen.  Gagalnya pemerintahan daerah untuk merevitalisasi atau pengadaan kembali alat musik ini. Sehingga benar presiden Jokowi mengeluarkan UU No 5 tahun 2007, tentang penguatan kembali nilai-nilai luhur kebudayaan lokal. Festival “Nuban Tawa” yang diselenggarakan pada tiga tahun terakhir di desa Leworang kiranya menjadi pembelajaran yang berharga bagi kita semua terkhusus anak-anak muda. Flores yang memiliki keragaman kebudayaan (flores adalah sosial budaya yang riil) harus tetap dipertahankan oleh berbagai pihak agar tidak terjadi lagi apa yang disebut urbanitas, tidak terjadi mondialisme dan globalitas, jika tidak maka dengan sendirinya manusia akan kehilangan identiasnya. Maka yang mendominasi adalah kebudayaan moderen yang tak terbendung lagi, sehingga menguburkan kebudayaan tradisional.


*Penulis adalah Mahasiswa STFK Ledalero

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال