Gugatan Masyarakat Adat Dolulolong Ditolak, Ahmad Bumi : Itu Pernyataan Menyesatkan


Lembata, IMC - Pernyataan Eliayaser Yentji Sunur dan Pengacaranya Blasius Dogel Ledjab, SH di media online (11/8) bahwa gugatan masyarakat adat Dolulolong melawan Eliayser Yentji Sunur ditolak Pengadilan Negeri Lembata. Itu pernyataan menyesatkan dan tidak benar. Sebagai pengacara harus memahami gugatan tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard (NO) dan gugatan ditolak. Masa sih sebagai pengacara tidak ngerti istilah tidak dapat diterima dan ditolak? 

Kalau sebagai pengacara jika baca amar putusan saja sudah ngerti tanpa harus membaca isi putusan. Ada baiknya belajar lagi dan butuh pengalaman yang banyak, biar tidak berikan pernyataan yang menyesatkan kepada publik. Hal itu dikatakan kuasa hukum masyarakat Adat Dolulolong Akhmad Bumi, SH melalui rilisnya yang diterima media ini pada Sabtu (11/8). 

Lanjut Bumi, kalau Eliyaser Yentji Sunur tidak ngerti istilah gugatan ditolak dan gugatan tidak diterima ya wajar. Karena memang dia bukan pengacara, jadi tidak ngerti istilah itu sudah tepat. Kalau pengacaranya saja tidak ngerti apalagi kliennya, kritik Bumi.

Gugatan tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard (NO) itu artinya perkara ini belum masuk pada materi pokok perkara. Materi pokok perkara adalah proyek reklamasi dan jalan wisata lintas Lohu, bukan hak ulayat sebagai pokok perkara. Lalu kenapa gugatan tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard (NO)? Ya lihat pada materi eksepsi. Apa saja yang mereka eksepsi. Yang di eksepsi dalam perkara ini hanya dua yakni soal legal standing dan soal eror in persona. Majelis Hakim dalam pertimbangannya (Hlm. 69) menyebutkan eksepsi kesatu soal legal standing tergugat tidak beralasan secara hukum dan harus dinyatakan ditolak. Eksespi kedua tentang eror in persona dikabulkan Majelis Hakim. 

Dikabulkan eksepsi kedua ini Majelis Hakim pertimbangkan Surat Perjanjian kontrak antara PPK dan CV Lembata Mandiri tgl 22 Maret 2018. Tapi hakim tidak menguji dengan DPPA yang ditunjukan saksi Petrus Bote dalam persidangan, Perbub Penjabaran APBD dan Perda APBD. Hakim juga tidak menguji dengan keterangan Ketua DPRD / Ferdinandus Koda, SE. Kontrak itu sudah diujung, harus ditemukan dalam DPPA, lalu ditemukan kembali dalam Perbub, lalu ditemukan kembali dalam Perda APBD. Inilah kami menguji lagi ditingkat banding, karena Hakim menimbangnya tidak lengkap. 

DPPA yang ditunjuk Petrus Bote didepan majelis hakim itu tidak ada item pekerjaan reklamasi pantai Balauring, tidak ada tandatangan Kepala Dinas PU, tidak ada cap/stempel. Lalu tergugat tidak memasukan DPPA jadi bukti surat. 

Kalau DPPA harus ditandatangani Kepala SKPD selaku kuasa pengguna anggaran. Kalau diringkasan dokumen pelasanaan anggaran SKPD ya Sekretaris Daerah yang tandatangan. Tapi direkapitulasi rincian belanja DPPA SKPD harus ditandatangani oleh Kuasa Pengguna Anggaran / kepala SKPD. Dalam DPPA yang ditunjuk saksi Petrus Bote di depan majelis hakim, posisi nama dan tandatangan Penjabat Pengelola Keuangan Sius Amuntoda itu posisi Kepala SKPD, Penjabat Pengelola Keuangan selaku pejabat yang mengesahkan DPPA itu disebelah kiri. Dibawahnya Tim Anggaran Pemerintah Daerah. 

Kalau gugatan ditolak itu artinya kalah. Majelis hakim sudah menguji materi pokok perkara dan para penggugat tidak mampu membuktikan dalil gugatannya, olehnya gugatannya ditolak. Kalau gugatan tidak dapat diterima itu belum masuk materi perkara. Masih sebatas syarat formal sesuai yang di eksepsi. Kalau materi perkara sudah diuji oleh hakim baru bisa sebut siapa yang kalah dan siapa yang menang. Penggugat kalah maka bunyinya putusan adalah gugatan penggugat ditolak, bukan gugatan tidak dapat diterima, kata Bumi.

Bumi menjelaskan perkara ini belum memiliki kekuatan hukum tetap. Obyek reklamasi dan jalan wisata masih sebagai obyek sengketa. Yang namanya obyek sengketa tidak bisa ditambah dan dikurangi, nanti merubah obyek sengketa. Sama juga dalam kasus pidana kalau TKP sudah dipasang polis line tidak bisa masuk, karena bisa merubah posisi TKP. Kalau masuk itu melanggar hukum, bisa dipidana.

Menyangkut ancaman laporan polisi silahkan saja. Itu hak yang bersangkutan. Hak ulayat itu melekat dalam jiwa raga mereka, itu harga diri masyarakat adat Dolulolong. Dan bagi masyarakat adat Dolulolong tidak takut dengan soal itu. Karakter diri masyarakat adat Dolulolong itu warisan leluhur, dan apa yang mereka lakukan itu untuk mempertahankan harga diri kampung dan harga diri serta kehormatan leluhur sebagai orang adat. Jangankan penjara, mati sekalipun mereka siap, kata Bumi. 

Masalah reklamasi dan jalan wisata ini hal sepele, hanya bangunan komunikasi yang tidak berjalan. Tidak ada informasi apapun kepada mereka masyarakat adat Dolulolong. Untuk kepentingan umum, masyarakat adat Dolulolong hibahkan secara cuma-cuma tanpa ditukar dengan rupiah. Karena hal itu pantang bagi mereka. Itu keyakinan masyarakat adat Dolulolong. Menjual tanah adat sama dengan menjual diri leluhur dan kehormatan kampung. Kantor koramil, PLN, KUD, Kantor Camat lama dll itu dihibahkan secar gratis, tidak dipungut satu rupiahpun. Orang adat pasti mengerti. Jangan mentang-mentang berkuasa lalu melakukan hal seenaknya dengan menginjak-injak hak orang lain. Saya pikir berfikir bijak itu jauh lebih penting, ketimbang berfikir dengan keegohan masing-masing pihak.

Terkait laporan pencemaran nama baik seperti ini sudah biasa di Lembata dan itu dari dulu. Kasus Surwa Uran juga dilapor pencemaran nama baik. Laporan kepada Surwa Uran terkait pernyataan Surwa Uran atas pembunuhan alm. Lorens Wadu di rumah jabatan Bupati Lembata. Demikian juga Alex Murin juga mengalami hal yang sama. Janganlah gertak-gertak orang masyarakat adat dengan hal seperti itu, karena tidak mendidik masyarakat banyak.(*)

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال