Apa Kabar, Dana Desa?



Lembata, IMC - Duka menyelimuti salah satu program pemerintah yaitu pembangunan masyarakat desa. Dana desa yang digelontorkan pemerintah untuk pembangunan bukan jumlah kecil. Melihat dana sebesar itu, desa gembira karena akan tersulap jadi surga.

Alih-alih jadi surga, malah jadi pintu neraka. Dana desa banyak dikorupsi aparat desa sendiri. Di tengah komitmen pemerintah dalam membangun desa, khianat aparat desa mengirim ancaman. Rencana yang sebelumnya disusun dengan cermat, terancam macet di tengah jalan. Akibatnya desa terjepit di lorong sempit nan gelap ketertinggalan.

Pemerintah telah menggelontorkan dana desa pada tahun 2015 sebesar Rp 20,76 triliun. Tahun 2016, jumlah itu ditambah menjadi Rp 46,98 triliun, dan tahun ini pemerintah kembali menbambah jumlah itu menjadi Rp 60 triliun dan rencananya tahun depan akan dinaikan lagi menjadi Rp 120 triliun. Melihat dana yang kian membesar itu, tentu angin sejuk pembangunan menjanjikan sebuah harapan. Namun, harapan itu seolah jadi harapan palsu. Bukan oleh pemerintah, tapi kelalaian aparat desa. Aparat desa salah menilai perut, bukan perut masyarakat yang dipikul malah perut sendiri diprioritaskan.

Gelisah jiwa dialami masyarakat, bukan mantap jiwa. Potensi desa yang sangat besar tidak kunjung terkelolah. Padahal dana pengelolaan itu ada. Tidak ada yang bisa memungkiri pembangunan tanpa dana. Jika dana ada, namun sumber daya manusia tidak ada, bagaikan burung tanpa sayap, begitu juga sumber daya manusia tanpa dana. Inti permasalahan mulai terlihat. Dana yang digelontorkan pemerintah ternyata tidak diimbangi oleh sumber daya manusianya. Program pembangunan masyarakat desa pun oleng.

Sampai saat ini, KPK telah menerima laporan sebanyak 459 laporan terkait penyalahgunaan dana desa. Hal ini membuktikan betapa pengelolaan dana desa tidak bergerak sesuai koridor. Namun bukan hanya itu, pengawasan operasional dana desa juga tidak boleh lepas dari perhatian. Leluasanya penyahahgunaan dana desa terkait erat dengan lemahnya pengawasan. Penggunaan dan pengawasan sama-sama keliru, pembangunanpun semakin oleng.

Seperti yang dikatakan ketua KPK, Agus Rahardjo, pemerintah harus mengevaluasi seluruh tahap penyaluran dana desa. Bukan pemerintah tidak menggubris, karena kata Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa, ada dan tidak adanya kasus, mereka akan tetap melakukan evaluasi. Ini semakin menarik, antara KPK dan Kementerian terkait sejatinya sudah menemukan solusinya. Masyarakat tinggal menunggu realisasi dari solusi itu. Namun lagi-lagi jangan berharap banyak tapi harus tetap optimis, jangan sampai kembali menelan pil pahit kelalaian. Di sisi lain, dalam jangka waktu penantian, peran serta masyarakat dalam mengawal pelaksanaan pembangunan sangat dibutuhkan. Pemerintah bukan super hero, masyarakat bukan para dewa. Seluruh elemen masyarakat dan instansi pemerintah harus bergandengan tangan termasuk aparat desa. Bukan malah menjadi musuh dalam selimut, dengan begitu rasa optimis bisa diletakkan di ujung tiang tertinggi negeri ini. Biarkan dia berkibar mengiringi wibawah sang merah putih.

Evaluasi besar-besaran menjadi hal wajib dilakukan oleh pemerintah. Evaluasi juga wajib dilakuakan oleh para pengemban tugas mulia di desa masing-masing. Setidaknya harus malu sama perut sendiri. Jangan sampai perut kenyang di atas tipisnya perut masyarakat. Mari menanti evaluasi itu, mari menanti kesadaran itu dan mari bergerak bersama pemerintah menuju desa yang maju dan sejahtera. Malu sama angka 60 persen yang menggambarkan jumlah total desa sangat tertinggal secara nasional.


Penulis: Emanuel Bataona
Penyunting: Emanuel Bataona

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال