Menggunakan Media Sosial Dengan Bijak


Jakarta, IMC - Memajang status pekerjaan yang tertinggi dan terbaik di sosial media bagi sebagian orang adalah suatu kebanggaan tersendiri.

Tidak sedikit kita jumpai akun media sosial yang mencantumkan jabatan pemilik akun termasuk mungkin diri kita sendiri. Hal itu sah-sah saja karena memang tidak ada aturan yang melarangnya.

Media sosial memiliki segmentasi yang berbeda-beda, baik dari sisi pemilik akun maupun tipikal orientasi dari media itu sendiri.

Facebook misalnya, media sosial ini paling banyak digandrungi oleh semua lapisan masyarakat dunia, terlebih di Indonesia. Penggunanya dari semua lini dan orientasinya untuk bermedia sosial dan suka-suka. Media sosial ini memberikan fitur yang lumayan komplit. Dari berbagi video, gambar selfie, curahan hati dengan teks yang panjang sampai video live pun terakomodir oleh facebook.

Lain halnya dengan instagram, media sosial ini lebih mengedepankan pada berbagi gambar, teks hanya sebagai keterangan yang secukupnya saja.

Nah, untuk media sosial yang paling banyak dan digunakan oleh lini atas kita biasa melihat pada Twitter. Di sini biasanya para pejabat maupun politikus memiliki akun pribadi yang digunakan untuk men "cuit" isu-isu terkini.

Selain itu, berbagai instansi baik swasta maupun pemerintah banyak menggunakan akun Twitter sebagai media berkomunikasi dan sosialisasi kepada khalayak.

Mulai dari Presiden, Menteri, Anggota DPR dan pejabat lainnya sampai partai politik memanfaatkan media sosial ini.

Kita lihat, ketika media ramai memberitakan bahwa La Nyalla Mattalitti mengaku dipalak Prabowo senilai 40M untuk mahar Cagub Jatim, maka partai Gerindra melalui akun resminya di twitter langsung mension ke Jokowi, Anies, dan lainnya untuk memastikan bahwa partainya tak pernah meminta mahar pada kandidat yang diusung ke pilkada.

Dari situ kita lihat bahwa ternyata twitter sangat digandrungi oleh para elit politik di Indonesia.

Lalu, apa yang akan saya sampaikan dalam hal bermedia sosial?

Sah-sah saja kita memiliki akun media sosial dan mencantumkan gelar dan jabatan kita, karean itulah hak dan mungkin satu prestasi.

Namun, menurut hemat saya, tidak perlu terburu-buru memasang status sebagai Owner, CEO, COO, Founder, Co-Founder, Direktur Utama dan sepangkatnya. Keep Calm, lebih mantap pada filosofi ilmu padi, mulai segala sesuatunya dari bawah. Mari belajar cara kerjasama dahulu, uji nyali dan mental baru kita coba menjadi pengusaha dan atau pimpinan tertinggi dalam perusahaan.

Networking tidak serta merta kita artikan sebagai kuantitas atau banyaknya follower dalam media sosial. Networking alias jaringan bukan masalah kuantitas atau jumlah, tetapi jaringan lebih pada nilai engagement.

Bagi saya lebih baik punya 1000 orang teman yang senantiasa siap sedia membantu dikala kita butuh bantuan daripada satu juta pertemanan yang hanya jadi robot dan selalu Autolike status kita.

Kawan-kawan yang punya keinginan untuk pandai dalam menulis maka perbanyaklah membaca buku.

Jika ingin pandai berbicara maka mulai sekarang perbanyaklah mendengar, menyimak, dan bertanya, perbanyak berinteraksi dengan banyak jenis orang, dengan begitu soft skills kita akan terasah dengan baik.

Soft skill ibarat belati, setajam apapun jika tak pernah digunakan maka akan berkarat dan tumpul.

Mari kita belajar adab dan sopan santun bagaimana bergaul dan berkomunikasi dari para mentor dan para orang tua.
Karena orang tua telah melalui dan menjalani atas apa yang baru kita bayangkan hari ini.

Etika jauh lebih penting dibanding penampilan. Lebih baik kita terlihat seperti orang miskin daripada terlihat seperti orang kaya.

Lebih baik terlihat seperti orang bodoh ketimbang terlihat seperti orang pandai.

Intensifkan berkomunikasi dengan orang tua selagi masih ada di dunia, karena umur kita belum tentu lebih lama dari waktu kita Online bersosial media. (syf/arief/red)

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال