DPW PAKAR Bireuen : Milad GAM Ke 41, Minta GAM Bersatu dan Surati CMI Untuk Negosiasi Kembali Soal Mou Helsingki RI-GAM


Bireuen, IMC - Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lahir berdasarkan histori, akibat ketidakadilan pemerintah Republik Indonesia terhadap rakyat Aceh, Selasa (5/12/17).


Sang Proklamator GAM Alm Dr. Hasan Muhammad di Tiro Gunung Halimon Aceh Pidie. Sosok Figur Hasan Tiro pada waktu itu mengatakan perang dengan bergerilya bersama Rakyat Aceh di hutan pergunungan pada saat itu berhadapan dengan TNI/Polri dengan menuntut Hak Kemerdekaan Aceh untuk pisah dari Pemerintah Republik Indonesia.

Berdasarkan Konsensus Politik yang disepakati melalui suatu Nota Kesepahaman Mou Helsingki GAM dan RI di Helsinki Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005 pasca Musibah Bencana besar Gempa/Tsunami upaya proses Negosiasi.

Dibawah peran Mediator Asing, Marti Ahtisary sebuah lembaga Crisis Management Inisiatif (CMI) dari negara Uni Eropa melalui keterlibatan Mediator Asing yang didukung oleh komunitas masyarakat dunia internasional (Negara Asean, Negara Uni Eropa) perdamaian Aceh antara Pemerintah Pusat terjalin dengan saling membangun suatu kepercayaan antara kedua belah pihak Pemerintah RI dan GAM.

Sebuah lembaga Internasional CMI yang dipimpin oleh Marty Ahtisary dengan berhasil membangun sebuah  Nota Kesepahaman Politik saling berkomitmen dan saling optimis serta Konsisten (Trust Building) tersebut, kemudian dijabarkan dalam sebuah Undang Undang bersifat Otonomi Khusus dan Istimewa, yaitu melalui sebuah nama Undang Undang tentang Pemerintahan Aceh No.11 Tahun 2006 (UUPA) dalam sistem Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Pusat Analisis Kajian dan Advokasi Rakyat Aceh (PAKAR) Bireuen M.Iqbal, S.Sos kepada Indonesia Media Center ini Selasa, saat diminta tanggapan menjelang  Milad GAM ke 41 (4  Desember 2017) di Aceh. Seyogyanya Paska Pemerintah Republik Indonesia-GAM sepakat berdamai dalam sebuah konsensus politik sebagai alternatif Opsi menyelesaikan konflik politik antara rakyat Aceh yang diwakili oleh GAM/Eks TNA dari perjuangan bersenjata ke transformasi politik yaitu setiap rakyat Aceh diberikan hak berpolitik melalui Partai Politik Lokal(Parlok) sesuai peraturan perundang undangan.

Seharusnya pemerintah Republik Indonesia harus jauh lebih bisa bertanggungjawab untuk menjaga suatu komitmen politik Aceh dan Indonesia yang sedang dibangun akan kesetiaannya rakyat Aceh bergabung dalam NKRI. Semestinya Pemerintah bisa menyesuaikannya apa yang termaktub dalam Klausul Mou Helsingki, bukan dengan saling membuat suatu krisis kepercayaan menyangkut  soal masa depan Aceh dalam memperoleh suatu Hak "Kemerdekaan dalam sistem Konstitusi NKRI" dalam mengejar  ketertinggalan  pembangunan diberbagai sektor kebijakan publik yang menjadi Kewenangan Pemerintahan Rakyat Aceh sesuai Kewenangan Aceh dalam  Mou Helsingki dan UUPA serta Qanun Aceh.

Dikarenakan sebagai payung hukum terkini di Aceh yang perlu wajib di hormati oleh Pemerintah Pusat terhadap hak Aceh jangan dikenkang dengan cara Diskriminasi saat diberikan suatu kewenangan seharusnya tanpa ada kesewenangan dari sikap politik pemerintah pusat yang menjegal Aceh untuk berdiri secara mandiri.

Sehingga persoalan Aceh yang ditawarkan dalam konsep model Mou Helsingki Ri-GAM membuat posisi Aceh dalam NKRI disamakan seperti Provinsi lain yang tidak dipertimbangkan soal Historis Aceh berperang melawan Belanda dan Melakukan Pemberontakan terhadap NKRI yang dilakukan oleh GAM 4 Desember 1976- 15 Agustus 2005.  

"Selamat Milad GAM yang ke 41, Semoga Aceh bisa Merdeka dalam Sistem NKRI dari Kesejahteraan, Ketidakadilan Kebijakan Pemerintah Yang Keliru terhadap rakyat Aceh," tutup Ketua Dpw PAKAR Bireuen Iqbal.

Penulis : Bambang Herman

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال