Optimalisasi Penerapan Pidana Denda Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Upaya Memberikan Pendapatan Negara Bukan Pajak Oleh Penuntut Umum



Jakarta, IMC - Sanksi pidana merupakan penjatuhan hukuman yang diberikan kepada seseorang yang dinyatakan bersalah dalam melakukan perbuatan pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia mengatur sanksi pidana apa yang dapat dikenakan bagi orang yang melakukan perbuatan pidana yang terdiri dari pidana pokok seperti pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim, selain dalam KUHP terdapat UU diluar KUHP yang mengatur tentang bentuk sanksi pidana seperti didalam UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang mengatur mengenai pidana yang dapat diajtuhkan yaitu pidana penjara dan denda.

Pidana denda selama ini belum mendapatkan perhatian dan dianggap tidak semanarik pidana hilangnya kemerdekaan, pidana denda dianggap  tidak dapat memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan. Seharusnya Majelis Hakim dan Penuntut Umum  menerapkan secara proporsional kepada terdakwa sehingga dapat memberikan pemasukan negara bukan pajak (PNBP) oleh lembaga penagak hukum kepada negara, sehingga aparat penegak hukum dapat membantu pertumbuhan keuangan negara terlebih pernyataan Mentri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa APBN kita masih mengalami defisit anggaran.[1]

Penerapan pidana denda di Indonesia terkesan kurang optimal karena disebabkan antara pidana denda yang dijatuhkan tidak sebanding dengan pidana pengganti denda (subsidiair) hal tersebut dapat kita lihat dalam putusan perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap terdakwa GUNDOLO SOSRO als. FRANSISKUS XGS yang dijatukan pidana denda sebesar Rp. 1.000.000.000, (satu milyar rupiah) subsidiair 2 (dua) bulan bulan kurungan[2] dan terdakwa Aditya Panca Als Adit Als Rival  Bin (Alm) Anwar dijatukan pidana denda sebesar Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. Dari kedua kasus penerapan pidana denda dan pidana pengganti denda kasus tindak pidana pencucian uang tersebut kita dapat melihat terdapat kesenjangan yang sangat jauh dimana pidana dendanya sangat besar akan tetapi pidana pengganti denda apabila tidak membayar sangat ringan sehingga terdakwa lebih baik menjalankan pidana pengganti dendanya yaitu pidana penjara, sehingga  tujuan adanya pidana denda untuk memberikan efek jera dari sudut pandang ekonomi tidak tercapai.

Apabila penegak hukum dalam hal ini Penuntut Umum dapat mengoptimalkan pidana denda maka penerapan pidana denda dapat menutup penguluaran negara dalam hal  melakukan penegakan hukum pidana dan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan terlebih lagi lembaga pemasyarakatan di Indonesia kelebihan muatan (over capacity) sehingga pidana denda dapat dijadikan sanksi alternatif untuk dapat membantu menanggulangi defisit anggaran negara dan over cacapacity lembaga pemasyarakatan di Indonesia.     
           
Pidana denda dalam UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mengatur pidana maksimumnya saja sehingga Penuntut Umum dalam menuntut pidana denda bisa lebih realisistis dengan menghitung kemampuan terdakwa membayar pidana denda dengan pidana penjara pengganti denda dan merubah paradigma bahwa pidana terhadap terdakwa bukan saja menghukum pidana penjara kepada terdakwa. Tetapi juga memberikan pendapatan negara bukan pajak kepada negara guna memberikan pemasukan kepada negara dan dapat meringankan biaya yang ditimbulkan negara untuk membayar penegakan hukum pidana terhadap terdakwa baik dalam tahap  Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan di Pengadilan dan di Lembaga Pemasyarakatan selama terdakwa dihukum. Adapun ilustrasi biaya yang dikeluarkan negara terhadap terdakwa Aditya Panca Als Adit Als Rival  Bin (Alm) Anwar yang melanggar Pasal 378 Jo 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun dan denda sebesar Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) Subsidiair 2 (dua) bulan yaitu :
Penyidik                                                                                  Rp. 10.000.000
Penuntut Umum                                                                      Rp.  3.300.000

Lembaga Pemasyarakatan 1 hari
Rp.15.000 x 3.650 Hari (10 Tahun)                                        Rp. 54.750.000
Total                                                                                      Rp. 68.050.000
Dengan perkiraan jumlah total anggaran negara yang cukup besar dikeluarkan negara untuk menegakan hukum pidana tersebut dari sudut pandang ekonomi cukup merugikan bagi negara terlebih pembiayaan penegakan hukum dan pelaksanaan penegakan hukum tersebut diambil dari pungutan pajak masyarakat kepada negara, Penuntut Umum dapat memperingan hukuman pidana penjara dan memperbesar pidana denda dengan tolak ukur penerapan pidana denda dengan biaya yang dikeluarkan negara untuk memproses terdakwa dan memperberat kepada terdakwa apabila terdakwa tidak membayar pidana denda. Sebagai ilustrasi penulis mencoba menerapan pidana denda yang dapat menjadi pertimbangan dalam tuntutan Penuntut Umum yaitu :
Apabila Penuntut Umum memandang bahwa terdakwa dihukum dengan 4 (empat) tahun pidana penjara sudah adil dan menimbullkan efek jera, maka tuntutan Penuntut Umum menuntut pidana penjara cukup dengan 3 (tahun) dan pidana denda yang dijatuhkan kepada terdakwa yaitu 21.900.000 (jumlah perhitungan uang negara yang dikeluarkan untuk penanganan  perkara sampai dengan bebas dari lembaga pemasyarakatan) dan apabila terdakwa tidak dapat membayar pidana denda diganti dengan pidana penjara 8 (delapan) bulan, jadi adil menurut penuntut umum pidana penjara 4 (empat) tahun apabila dikalkulasikan dengan pidana denda maka tidak akan jauh berbeda,
Penulis mencoba memberikan acuan terkait dengan penerapan dan tolak ukur aparat penegak hukum untuk penerapan pidana denda:
Acuan dalam penerapan denda                      
Tuntutan 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun





Tuntutan 5 (lima) sampai dengan 10 (sepuluh) tahun
Dihitung terlebih dahulu total biaya perkara sampai dengan terdakwa bebas dari  lembaga pemasyarakatan totalan tersebut menjadi pidana denda dan apabila terdakwa tidak membayar pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara 8 bulan.

Dihitung terlebih dahulu total biaya perkara sampai dengan terdakwa bebas dari  lembaga pemasyarakatan totalan tersebut menjadi pidana denda dan apabila terdakwa tidak membayar pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara 1 (satu) tahun
Tuntutan 10 sampai dengan 20 tahun
Dihitung terlebih dahulu total biaya perkara sampai dengan terdakwa bebas dari lembaga pemasyarakatan totalan tersebut menjadi pidana denda dan apabila terdakwa tidak membayar pidana denda tersebut  diganti dengan pidana penjara 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan
   
            Akan tetapi besaran acuan pidana denda tersebut bisa lebih besar di jatuhkan atau pidana denda maksimal kepada terdakwa apabila kejahatan yang dilakukan terdakwa merugikan negara baik materil dan non materil seperti bandar besar narkoba, ilegal loging, lingkungan hidup, kehutanan, perbankan, korupsi. Pasar modal dll dan Penuntut Umum berkewajiban melihat kemampuan terdakwa untuk membayar pidana denda tersebut, untuk melihat kemampuan/harta kekayaan terdakwa tersebut penegak hukum dapat menerapkan pembalikan beban pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.   
Penulis : Hardiansyah, SH
Alumni PPPJ Angkatan 74 Gelombang II Kelas XII- Tahun 2017

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال