Pemuda Indonesia, Generasi Yang Kosong?

Pemuda Indonesia, Generasi Yang Kosong?

Oleh Akhmad Bumi )*

Menjelang 89 tahun Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928 – 28 Oktober 2017) pemuda-pemuda Indonesia merayakan Ultah ke 89.

Tepatnya 89 tahun silam, pemuda-pemuda Indonesia dengan gagah berani mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa, INDONESIA. 





Begitu bermakna Indonesia dimata kaum muda masa lalu. Nasionalisme dan demokrasi bergerak seiring dalam pergerakan nasional. 

Dimotori, digerakkan pemuda-pemuda progresif Indonesia. Indonesia maju, Indonesia bangkit, Indonesia jaya ada dipundak pemuda, cetus Poernomowoelan berapi-api saat rapat pemuda Indonesia di Gedung Indonesisch Huis Kramat 28/10/1928.

Lagu Indonesia Raya (Wage Rudolf Supratman) diputar saat kongres dimulai, Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku--pengikat kesatuan Indonesia Raya dari Sabang hingga Merauke. 

Sebelum kongres ditutup, pemuda-pemuda Indonesia mencetuskan rumusan hasil kongres--begitu monumental bagi sejarah bangsa hingga kini. 

Rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah dan ikrar kesetiaan  ‘Pemuda - Pemuda untuk Indonesia’.

Menarik, ultah pemuda ke-89 kali ini berkenaan dengan kondisi bangsa yang morat marit. Pemuda era 1928, semangat nasionalisme kaum muda sebagai reaksi terhadap bangsa kolonial yang menjajah Indonesia begitu heroik, melahirkan hal monumental dalam ikrar 'Sumpah Pemuda'.

Milad pemuda tahun ini, semestinya melahirkan misi dan kompetensi kaum muda untuk menjawab situasi bangsa yang tidak menentu. Misi dalam konteks penyebab kaum muda dilahirkan, dan mengapa pemuda perlu melakukan sesuatu. 

Proses kaum muda dalam mengemban misi memiliki ciri dan spirit yang spesifik. Oleh karenanya hanya bisa dimengerti dan dikelolah dengan cara pandang dan konsep kaum muda yang bebas kepentingan dengan menorehkan sesuatu yang berarti bagi bangsa dan negara.

Kondisi obyektif kaum muda yang terwadah dalam berbagai organisasi, tidak bisa dilepaskan dari berbagai kepentingan yang bertarung. Oleh karenanya gerakan kultural pemuda Indonesia ditahun-tahun terakhir menjadi kehilangan arah dan orentasi, karena pemuda kerap mengekor pada 'kepentingan' akhirnya menjadi sesuatu yang tidak menarik untuk disantap.

Hal itu menjadi alat ukur realitas baru, dan seolah dipercaya menjadi kiblat pada kesadaran baru kaum muda. 

Jika pemuda dahulu membangun harapan besar untuk Indonesia dengan berjuang merebut kemerdekaan, tapi tidak merasakan gesekan-gesekan lintas kepentingan seperti yang melanda kaum muda saat ini. 

Dilain sisi kaum muda saat ini walau diberi ruang kebebasan tapi mereka membangun kerangkeng yang besar pada dirinya, tanpa disadari  semua itu adalah kontradiksi dari peran dan orentasi sesungguhnya.

Oleh karenanya ketika peran kultural kaum muda hendak diarahkan dalam dinamika historis kebangsaan, sebuah tanda tanya dan kesangsian tiba-tiba muncul, mau bicara peran dan kepentingan siapa dan tentang apa?. 

Bukankah rumusan kaum muda Indonesia saat ini menampilkan mozaik yang dihimpit hiperalitas yang demikian rancu? 

Wajah generasi kita adalah gambaran tentang sebuah tanda tanya besar, seolah bopeng sebelah. Dititik ini, kebanyakan menyebutkan kaum muda telah kerasukan dengan apa yang disebut krisis kesadaran dan identitas diri.

Pemuda, pemimpin masa depan. Pemuda bukan sekedar pelanjut etape suatu kehidupan tanpa isi, tapi jauh dari itu arah dan masa depan Indonesia ada dipundak pemuda. 

Perjalanan pemuda menyatu dengan denyut nadi perjuangan bangsa, mulai dari pencarian identitas, pembentukan identitas hingga pada pemberian isi pada identitas, disini letak posisi pemuda Indonesia, pemberi ‘nilai’ atas sebuah kehidupan yang lebih luas.

Paham kebangsaan (nasionalis) tidak dilahirkan untuk mengusung sebuah kepentingan sempit; sebuah ras, agama, komunitas atau politik tertentu, melainkan untuk sesuatu yang dibayangkan, kata Ben Anderson.

Pemuda-pemuda Indonesia dari Aceh hingga Papua, dari pulau Nias hingga pulau Rote—antara satu dengan lainnya tidak saling kenal, tidak saling bertemu, tidak berjumpa secara fisik, berbeda suku bangsa, berbeda warna kulit, berbeda ideologi dan orentasi politik—tapi dalam benak masing-masing pemuda Indonesia punya ikatan emosional—comradeship; ada semangat persaudaraan horizontal, semangat memiliki satu merah putih, semangat memiliki satu Indonesia.

Inilah pemuda Indonesia, mereka siap dan rela berkorban demi ‘misi suci’ yang dibayangkan mewujudkan cita-cita luhur kebangsaan, cita-cita Indonesia maju, cita-cita Indonesia bersatu, cita-cita Indonesia sejahtera.

Realitas menggariskan Indonesia hari ini yang secara kasat mata, bangsa seolah terbelah, ditebing kehancuran.

Pemuda seolah menutup mata, absen di setiap momentum bangsa yang hadir secara bergantian ditahun-tahun terakhir ini, yang aktual secara nasional.

Utang bertumpuk dan menjadi beban bangsa Indonesia luput dari kritik kaum muda.

BUMN yang seharusnya menjadi mesin pengeruk uang yang menguntungkan negara justru sebaliknya, menjadi mesin utang luar negeri.

Utang luar negeri per Mei 2017 tembus Rp 3.672,33 triliun. Angka itu naik Rp 4,92 triliun dibanding bulan sebelumnya sebesar Rp 3.667,41 triliun. 

Utang ini juga naik Rp 201 triliun dibanding posisi per Desember 2016. 

Demikian juga daya beli masyarakat justru terpuruk dan terburuk seperti yang dikeluhkan Presiden Jokowi.

Demikian pula pencabutan total subsidi BBM untuk premium (solar disubsidi ragu-ragu sebesar Rp 1000 per liter), hal itu berakibat turun naiknya harga BBM premium termasuk solar di masyarakat.

Hal itu berdampak buruk kepada kenaikan berbagai harga sembako dan kebutuhan hidup serta mahalnya transportasi ditengah masyarakat.

Untuk beras, pertama kali dalam sejarah perberasan Indonesia, harga beras layak konsumsi berharga Rp 13.000 per Kg. 

Di ikuti mahalnya harga protein  (daging) sapi Rp 100.000 per Kg, ikan laut Rp 35.000 per Kg, ayam ras Rp 28.000 per Kg, termasuk berbagai sayur mayur.

Masalah bangsa lain, lemahnya penegakkan hukum, konflik horisontal antar kelompok dan golongan, demikian juga konflik vertikal yang berlangsung kian massif.

Hal lain, merebaknya isu PKI dimana-mana, disatu sisi Presiden Jokowi mengatakan tidak ada PKI di Indonesia, disisi lain TNI bersikukuh sesuai data inteljen TNI bahwa PKI di Indonesia nyata adanya.

Padahal sesuai UU, PKI dan aliran komunis masih dilarang di Indonesia. UU itu ditegakkan, bukan dilumpuhkan. 

Jika ada pihak yang hendak memformalisasikan PKI di Indonesia, sebaiknya berjuang secara politik dan mencabut UU dan TAP MPR yang masih berlaku, agar tidak menodai Indonesia sebagai negara hukum.

Demikian juga dengan Bambang Tri, penulis buku dengan judul Jokowi Undercover, yang mengulas Jokowi anak PKI.

Dalam kasus Bambang Tri, bukan hanya buku yang dilarang beredar karena isi bukunya dianggap mengancam kepentingan umum tapi sampai pada isi otak penulis (kotak hitam di kepala) Bambang Tri di adili didunia peradilan. 

Padahal otak bersama isinya adalah Rahmat Tuhan yang diciptakan kepada dan untuk manusia, tentunya untuk berfikir dan mencari kebenaran.

Sebagian pengamat mengatakan, Jokowi sebagai Presiden ke 7 dianggap gagal memimpin Indonesia. 

Semua masalah bangsa itu, luput dari kritik kaum muda, bahkan tak terdengar suara gerakan kaum muda Indonesia.

Realitas itu memberikan beban mahal yang harus dipikul dipundak pemuda-pemuda Indonesia, untuk saat ini dan dimasa depan. 

Jika pemuda-pemuda Indonesia tidak menyadari, maka dipundak pemuda-pemuda Indonesia hari ini akan hadir menjadi ancaman buat bangsa dan Negara masa depan.

Pemuda Indonesia mesti membayangkan dengan cerdas masa depan Indonesia yang besar ini, sebab telah menjadi kemestian sejarah bahwa pemuda hadir untuk merespons segala unek-unek kebangsaan. 

Pemuda bukan hanya dikenal saat-saat digelarnya Kongres, Munas, Mubes dll, setelah itu hilang tak berkesan buat bangsa dan negara. 

Perlu ada sebuah keyakinan besar dalam diri pemuda dengan pikiran-pikiran baru, progresifitas baru dalam diri generasi, sekecil apapun getarannya akan tetap bermakna untuk Indonesia.

Walau demikian, optimis selalu ada, masih ada setitik harapan tersembunyi dibalik semua ini, pemuda Indonesia. 

Bukankah sejarah selalu bergerak linear, dan acap kali meledakkan momentum yang sulit diurai oleh akal sehat? 

Karena gerak nadi kehidupan bangsa saat ini tidak dan bukan sebatas teka-teki silang, hal yang tak bisa kita tebak tanpa kerja-kerja nalar yang cerdas, ia dan mereka bisa terbit pekan depan, selalu hadir dengan jawaban cerdas disaat-saat yang tak dijangkau oleh siapapun.

Untuk mengenang 89 tahun Sumpah Pemuda, menjelang se-abad kongres Pemuda Indonesia, pasti pemuda-pemuda Indonesia telah membayangkan masa depan Indonesia setelah hari ini. 

Pemuda Indonesia tentu tak ingin kehilangan momentum, tapi ingin menorehkan sesuatu yang monumental, atau nukhta-nukhta penting untuk sejarah bangsa, karena pemuda Indonesia tentu tak mau kehilangan identitas diri, jati diri dan pengisian diri, sebab jika ia melupakan itu, maka dihari depan ia dipermaklumkan sebagai generasi yang kosong.#

)* Penulis, Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)/sekarang Advokat

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال