Jika KPK Menutup Diri, Itu Artinya Ada Yang Salah



Oleh : Akhamd Bumi
(Wakil Ketua Umum BRINUS)

Polemik KPK dan Hak Angket DPR masih berlanjut. Kritik tajam baik terhadap KPK dan Hak Angker DPR masih terus dilancarkan, sekalipun dukungan kepada KPK tidak semasif tahun 2009 yang dikenal Cicak vs Buaya maupun tahun 2015 saat konflik KPK vs Polri, hal itu disampaikan Akhmad Bumi, Wakil Ketua DPN Brinus kepada media ini, Sabtu, 8/7/2017.

Ketua Perhimpunan Muda Sarjana Hukum Indonesia (HIMSHI) ini mengatakan polemik ini tidak terjadi kalau KPK tidak menunjukan sikap perlawanan atau arogansi kepada DPR yang menggunakan Hak Angket DPR. 

"Sikap perlawanan itu bisa ditasirkan KPK tidak mau dikontrol, dan itu KPK hanya menunjukan kelemahannya kepada publik. Sepertinya ada sesuatu yang hendak disembunyikan KPK, agar publik tidak mengetahuinya," kata Bumi.

Banyak kelemahan KPK yang perlu dievaluasi dan diawasi termasuk tebang pilih dalam menangani kasus. 

"Kasus RS Sumber Waras misalnya, KPK menyebutkan tidak ada unsur melawan hukumnya. Belakangan KPK menyerahkan kepada penegak hukum lain untuk menangani kasus RS Sumber Waras, ini indikasi bahwa KPK sedang tidak normal," tegasnya.

"KPK tahu bahwa RS Sumber Waras itu ada korupsi, tapi seperti ada sesuatu yang ditakuti. Kalau tidak ada yang ditakuti, kenapa mesti KPK serahkan kasus itu kepada penegak hukum lain?" tanya Bumi yang juga alumni HMI ini.

Padahal hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan Pemda DKI menyebutkan pembelian lahan RS Sumber Waras telah mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 191miliar. 

"Hasil audit investigatif BPK itu dipaparkan dihadapan komisioner KPK, walau itu terjadi pada pimpinan KPK yang lama. Pimpinan KPK lengkap hadir waktu itu. KPK itu lembaga, jadi tanggungjawab adalah lembaga, saat itu dipaparkan oleh Profesor Edi dari BPK kepada pimpinan KPK. Secara terang benderang BPK memaparkan adanya kerugian negara sebesar Rp 191 miliar, dipaparkan oleh BPK apa-apa saja yang dilanggar oleh Pemda DKI," tegas Bumi.

"Malah KPK menyebutkan temuan BPK itu tidak benar. KPK menyandingkan pendapat Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) dan sejumlah pakar yang menyebutkan tidak ada kerugian negara di RS Sumber Waras. Loh, temuan kerugian negara itu dari lembaga negara, BPK itu lembaga negara yang mempunyai kewenangan audit kerugian negara. Kok KPK tidak percaya BPK? Tidak percaya KPK kepada BPK sama dengan KPK tidak hormati kewenangan DPR, ini berbahaya, karena antar lembaga negara saling tidak percaya, saling tidak menghormati, KPK lebih percaya ocehan lembaga luar yang tidak ada kewenangan," kata Bumi.

Demikian juga nyanyian Miryam S. Haryani yang mengakui dipaksa dan ditekan KPK untuk menyebut nama dalam BAP, kemudian Miryam mencabutnya, hal ini kemudian menjadi polemik dan berujung pembentukan hak angket DPR. 

Nyanyian Miryam bukan hal sederhana. Ini tanda KPK tidak profesional. Kalau seseorang itu terlibat tindak pidana dan KPK sudah mengantongi 2 alat bukti sesuai hasil penyelidikan ya tangkap pelakunya, tidak perlu memandang siapa dia. Kenapa mesti dikondisikan melalui saksi atau terdakwa dalam penyebutan nama? 

Jika benar KPK tidak memaksa Miryam, kenapa KPK mesti takut dengan hak angket DPR? 

Takut berarti benar KPK memaksa Miryam untuk menyebut nama tersebut. Jika benar KPK memaksa Miryam berarti KPK sudah berubah fungsi menjadi lembaga politik atau menjadi alat politik, karena disitu terjadi pembunuhan karakter, lagi pula KPK begitu vulgar enggan menghadiri pemanggilan DPR melalui hak angket, ini sama sekali tidak etis, padahal saat seleksi komisioner KPK tahun 2015, pertanyaan tentang menjaga, menghormati antar lembaga negara dilontarkan kepada para calon komisioner KPK berulang kali, maksudnya agar konflik KPK vs Polri tidak terulang lagi, kata mantan calon Komisioner KPK tahun 2015 ini.

Belum lagi tata kelolah keuangan di KPK yang buruk. Dari LHP BPK, terdapat sekitar 7 indikasi temuan ketidakpatuhan KPK mengenai tata kelola anggaran tahun 2015.

Kelebihan pembayaran gaji pegawai KPK, belanja barang pada direktorat monitor deputi informasi dan data yang tak dilengkapi dengan pertanggungjawaban, pembayaran belanja perjalanan dinas, belanja sewa, belanja jasa profesi pada biro hukum, kegiatan perjalanan dinas deputi penindakan yang tak didukung surat perintah, standar biaya pembayaran honorarium deputi penindakan, realisasi belanja perjalanan dinas biasa tak sesuai dengan ketentuan minimal, perencanaan gedung KPK tak cermat sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran, semua itu perlu diawasi. 

Lagi pula Ketua KPK Agus Rahardjo disebut-sebut terlibat dalam skandal korupsi E-KTP. 

Nyanyian Mantan Mendagri Gamawan Fauzi yang menyebut nama Agus Rahardjo seharusnya jangan ditutupi KPK. 

Gamawan menyebutkan mantan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), Agus Rahardjo, yang kini Ketua KPK terlibat dalam skandal korupsi E-KTP, hal ini cukup serius, sekalipun KPK melalui Jubirnya Febriansyah telah menepis itu, tapi tidak sesederhana itu. Olehnya KPK dibutuhkan pengawasan. Perlu ada lembaga pengawas yang diatur UU, sifatnya pengawasan eksternal. KPK dengan tidak menghormati BPK dan DPR ini saja, telah memberikan contoh buruk dalam tata kelolah negara. 

"Kalau KPK tidak mau diawasi atau dikontrol karena merasa diri super, ya tidak perlu ada KPK di Indonesia, karena dalam bernegara itu ada sistem, agar pengelolaan negara berjalan baik, terutama hubungan antar lembaga negara, mesti saling menghormati," tandas Bumi. 

"Menghormati bukan berarti meniadakan tindakan jika ada korupsi, karena korupsi itu perbuatan pribadi seseorang, bukan lembaganya," tegas aktivis 1998 ini. (tim/red).

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال