Indonesia Masa Depan

Indonesia Masa Depan

Oleh Akhmad Bumi
Wakil Ketua DPN BRINUS


Carut marut politik nasional belakangan ini, perlu dicerna lebih jernih dengan konstruksi berfikir yang jauh kedepan tentang sebuah Indonesia yang dicitakan.

Indonesia mengalami sejarah panjang dalam politik orde baru. Selama 32 tahun orde baru berkuasa, menjadikan seorang presiden mempunyai kekuasaan begitu absolut, dan itu menjadi contoh buruk dalam sejarah politik Indonesia, akan tetapi kenyataan buruk itu diberikan peluang oleh konstitusi negara dan UU. 

Dalam situasi yang carut marut ini, perlu ada konstruki ulang tentang sistem politik Indonesia, terutama menyangkut batasan-batasan, kewenangan, hubungan antar lembaga mulai dari lembaga Presiden, MPR, DPR, kekuasaan kehakiman, TNI, Polri dan lembaga negara lainnya dengan perspektif ideal untuk masa depan Indonesia.

Kedepan, jika seorang telah terpilih menjadi presiden, maka presiden setelah mengucapkan sumpah / janji sebagai presiden RI, idealnya hubungan atau loyalitas presiden dengan partai pengusung sudah harus diakhiri, loyalitas bisa muncul kembali jika presiden ybs akan mencalonkan diri untuk berikutnya atau terakhir kali lewat partai yang mengusungnya.

Hal ini untuk menghindari presiden sebagai pelindung partai pengusung, tapi presiden yang terpilih dan telah mengambil sumpah adalah presiden seluruh rakyat Indonesia, bukan presiden partai PDIP, bukan presiden partai Golkar, bukan presiden partai Demokrat, dll. Hal ini sekaligus untuk menghindari penyalahgunaan wewenang, korupsi, keberpihakan, perlindungan, dst.

Demikian juga fraksi-fraksi di DPR yang merupakan perpanjangan tangan partai politik perlu ditiadakan atau dihapus. Wacana ini sempat muncul diawal reformasi, tapi kemudian menghilang.

Disaat seseorang dilantik menjadi anggota DPR dan telah diambil sumpah, maka seseorang itu adalah wakil rakyat, bukan lagi menjadi wakil partai. 

Fraksi-fraksi yang ada saat ini adalah model yang diciptakan Orde Baru. Eksistensi fraksi sama dengan kita menguburkan demokrasi. Sebagai wakil rakyak maka loyalitasnya adalah kepada Undang-undang bukan kepada partai. Karena dalam Undang-undang, anggota DPR selain wakil rakyat juga adalah wakil partai. Dengan demikian partai bisa dipaksa oleh kekuasaan yang berkuasa secara politik untuk mere-call atau dengan cara yang sejenis dengan itu kepada anggotanya yang kritis, dll. Atau pemerintah lewat Departemen Hukum dan HAM dapat memproses eksistensi partai yang bersangkutan.

Olehnya Undang-undang politik dan UU Pemilu harus dibuat dengan semangat  keindonesiaan masa depan, UU tidak dibuat dengan semangat dan kepentingan jangka pendek, dengan tergesa-gesa karena kepentingan  pembuat Undang-undang atau kepentingan siapapun kecuali untuk kepentingan Indonesia. Olehnya UU tentang pembentukan UU juga perlu dibenahi sedemikian rupa termasuk jangka waktu berlakunya sebuah UU.

Selain itu lembaga kepresidenan, kelembagaan politik MPR, DPR juga perlu direkonstruksi soal struktur dan fungsinya.

Demikian pula presiden dalam menjalankan hak prerogatifnya perlu diatur dengan lebih baik, dengan perspektif masa depan Indonesia, agar dalam menjalankannya, presiden harus berkonsultasi dengan lembaga tinggi negara lain, semisal pengangkatan duta besar perlu meminta persetujuan pimpinan MPR, hak pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus dikonsultasikan dengan Mahkamah Agung (MA) dll.

Demikian pula masalah pemberian grasi dan rehabilitasi. Khusus untuk masalah rehabilitasi, sejauh ini belum ada badan yang bersungguh-sungguh menangani masalah rehabilitasi ini. Jika presiden memberikan rehabilitasi, maka dalam pelaksanaannya seharusnya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, yaitu lewat lembaga peradilan. Didalam KUHAP hanya disebutkan bahwa keputusan hakim menyangkut soal rehabilitasi, yaitu untuk kasus-kasus yang diputus bebas.

Oleh karena itu prinsip trias politica seharusnya diterapkan dengan sebaik-baiknya, dengan menjunjung tinggi kemandirian kekuasaan negara. 

Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, KPK, Mahkamah Agung, Gubernur Bank Indonesia adalah lembaga yang mandiri, dapat diusulkn oleh presiden tapi harus mendapat persetujuan MPR (konstruksi kembali kelembagaan MPR). Mereka mempunyai kedudukan yang kuat dan independen diruang lingkup pekerjaannya. 

Baik presiden, wakil presiden, menteri-menteri kabinet atau siapa saja tidak boleh melakukan intervensi dalam bentuk apapun, yang berhak melakukan intervensi adalah Undang-undang itu sendiri. 

Artinya kedudukan mereka setaraf menteri-menteri, tetapi independen dari kekuasaan presiden. Bagaimana kalau presiden atau wakil presiden melakukan kesalahan yang nyata sifatnya atau melanggar konstitusi negara?

Maka MPR harus meminta pertanggungjawaban presiden melalui lembaga impeacment yang dibentuk untuk menyelidiki indikasi pelanggaran presiden, jika terbukti presiden melakukan kesalahan maka bisa dipaksa mundur, atau menghadapi pengadilan Mahkamah Agung. Meskipun konstitusi negara sudah mengatur hak dan kewajiban presiden/wakil presiden tapi perlu ada ketentuan yang lebih luas dalam konstitusi negara antara lain tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan presiden, misalnya seorang presiden melakukan intervensi terhadap Gubernur Bank Indonesia, KPK, presiden membuat pernyataan sebagai sumber lahirnya konflik, presiden membuat kebijakan yang menyeret rakyat kearah penderitaan seperti hutang, dll. 

Jika lembaga impeacment tidak diatur dalam Undang-undang tersendiri, maka bisa dimasukan dalam Undang-undang tentang kepresidenan.

Demikian pula menteri kabinet perlu diatur, terutama pembatasan-pembatasan terutama kepada departemen yang penting dan krusial melalui Undang-undang. Mentri-mentri kordinator yang berlaku di era Soeharto tidak tepat lagi untuk dipertahankan. Lembaga-lembaga non departemen bisa dibentuk untuk membantu kelengkapan kabinet. Misalnya, Departemen Dalam Negeri, apa masih dibutuhkan? Dapat dikaji secara mendalam, kita tidak butuh lagi pembina politik. Pembina politik cukup pada Gubernur di propinsi, dan beberapa departemen lain yang sepatutnya eksistensinya dikaji kembali, karena hanya membuat kekuasaan negara ini secara sentralistik model Orde Baru. 

Olehnya hak prerogatif presiden termasuk dalam membentuk departemen, mengangkat menteri-menteri negara perlu dirumuskan kembali.

Karena, presiden begitu membentuk banyak departemen, gonta-ganti menteri, karena presiden memiliki hak prerogatif, perlu reorentasi pemikiran dan perlu diatur dalam Undang-undang kepresidenan, karena atas kekuasaanya yang tidak diatur maka dapat berbuat apa saja. Karena ini soal sistem, maka sistem ini perlu dipikirkan, dibongkar, kemudian digodok menjadi sistem Indonesia yang yang di citakan. Oleh karena itu, konstruksi politik Indonesia, semua pihak (ahli, cendikiawan, akademisi, profesional) perlu mendapat ruang untuk memikirkan menyangkut sistem ideal politik Indonesia. 

MPR yang seharusnya mengakseptasi kedaulatan rakyat misalnya, saat ini memiliki kedudukan yang lemah bahkan menjadi tangan kedua dari DPR. Padahal MPR adalah penjelmaan dari kedaulatan rakyat. Pada berbagai celah ini semua, kekuasaan eksekutif mencengkramkan kuku kekuasaan dan menguasai hampir diseluruh lini lembaga-lembaga negara baik legislatif maupun yudikatif, dan presiden hampir melaksanakan dengan seleranya sendiri-sendiri dengan memproduk sistem melalui Undang-undang, Undang-undang itu kemudian dipaksakan DPR untuk menyetujuinya. (red)

Post a Comment

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال